Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 6 dari 11)
🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه
Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia)
Kemudian raja Najāsyī berkata:
هَلْ مَعَكَ مِمَّا جَاءَ بِهِ عَنْ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ
“Apakah ada sesuatu yang dibawa oleh nabimu?”
Maka Ja’far bin Abī Thālib berkata:
نَعَمْ,
“Iya.”
Kemudian raja Najāsyī berkata:
فَاقْرَأْهُ عَلَيَّ
“Bacakan kepadaku.”
Kemudian Ja’far bin Abī Thālib membacakan surat Maryam.
Dan kita tahu bahwasanya surat Maryam, indah kisahnya. Di awal disebutkan tentang kisah Nabi Zakariyyā yang sudah tua, kemudian sudah lemah, rambutnya sudah memutih dan berkata, “Aku tidak pernah putus asa dari berdo’a kepada Engkau.”
Jadi Allāh menyebutkan dua kisah yang menakjubkan.
⑴ Allāh memberikan anak kepada seorang yang sangat tua (Nabi Zakariyyā) istrinyapun mandul (sudah tidak produktif).
Bagaimana bisa memiliki keturunan? Tetapi Allāh mengatakan, “Bisa.”
⑵ Kisah Nabi ‘Īsā ‘alayhissallām.
Bagaimana seorang wanita tidak bersuami tiba-tiba memiliki anak.
Kalau antum baca kisahnya sangat menyedihkan dalam surat Maryam.
Tatkala datang malāikat Jibrīl ‘alayhissallām kemudian mengabarkan kepada Maryam bahwasanya dia akan punya anak, kemudian Maryampun hamil lalu menjauh dari kaumnya sampai akhirnya tiba waktu melahirkan dan dia merasakan rasa sakit ketika akan melahirkan dan tatkala pulang ke kaumnya dituduh sebagai wanita pezinah.
Semua dibacakan oleh Ja’far bin Abī Thālib dan didengar oleh raja Najāsyī.
Kemudian tatkala mendengar bacaan ini raja Najāsyī pun menangis.
Kata Ummu Salamah, “Demi Allāh, Raja Najāsyī menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya dan pendeta-pendeta disekitarnyapun ikut menangis sampai air mata mereka membasahi mushaf-mushaf mereka (Injīl-Injīl mereka) tatkala mereka mendengar bacaan Ja’far bin Abī Thālib.”
Kemudian raja Najāsyī berkata:
“Sesungguhnya yang saya dengar ini dan apa yang dibawa oleh Nabi Mūsā, sama-sama keluar dari sumber yang sama. Pergilah kalian berdua wahai Amr bin Āsh dan ‘Abdullāh bin Rabī’ah. Demi Allāh saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua.”
Maka para shahābatpun selamat, setelah dialog yang dilakukan oleh raja Najāsyī dan Ja’far bin Abī Thālib.
Namun ‘Amr bin Āsh tidak putus asa, dia mengatakan, “Besok saya akan mencari cara lain.”
‘Amr bin Āsh cerdas, dia ingin memprovokasi raja Najāsyī agar raja Najāsyī mengusir para shahābat.
Dia mengatakan, “Saya akan kabarkan kepada mereka (Raja Najāsyī) bahwasanya ini, shahābat Muhammad, mengatakan Īsā itu hamba, ini membuat jengkel orang Nashrāni (raja Najāsyī).”
Orang Nashrāni menganggap Nabi ‘Īsā adalah tuhan.
Kemudian keesokan harinya ‘Amr bin Āsh dan ‘Abdullāh bin Rabī’ah menemui raja Najāsyī dan mengatakan:
“Wahai Raja, sesungguhnya mereka telah berbicara tentang ‘Īsā bin Maryam dengan perkataan yang besar. Engkau tanya sendiri wahai raja apa yang mereka katakan tentang ‘Īsā bin Maryam?”
‘Amr bin Āsh cerdas, dia tidak mengatakan perkataannya, melainkan menyuruh raja Najāsyī bertanya sendiri kepada para shahābat.
Raja Najāsyī penasaran apa yang telah dikatakan tentang tuhannya, maka diutuslah utusan untuk menemui para shahābat.
Dan para shahābat bermusyawarah lagi, waktu pertemuan pertama para shahābat membicarakan masalah muamalah, tidak boleh zinah, tidak boleh memutuskan silaturahmi sedangkan sekarang berbicara tentang aqidah.
“Apa yang harus kita katakan?”
Para shahābat sekarang dalam bahaya, bila Raja Najāsyī marah, mereka pasti diusir, saatnya mereka untuk mujamalah, untuk mudahanah. Tetapi lihat bagaimana para shahābat, mereka tetap santai menjelaskan tentang tauhīd, tidak basa basi dalam hal ini.
Mereka bersepakat, apabila kita ditanya oleh raja Najāsyī, kita mengatakan, “Demi Allāh, kami akan mengatakan sebagaimana perkataan Allāh dan apa yang dibawa oleh Nabi kita.”
Kemudian para shahābat datang menemui raja Najāsyī dibawah pimpinan Ja’far bin Abī Thālib.
Kemudian raja Najāsyī bertanya, “Apa perkataan kalian tentang Īsā bin Maryam?”
Kemudian Ja’far bin Abī Thālib berkata,
“Kami berbicara tentang Īsā bin Maryam sebagaimana perkataan Nabi kita, dia adalah hamba Allāh dan rasūlnya dan dia adalah kalimat yang Allāh kirimkan ke dalam rahim Maryam dengan mengatakan: Kun Fayakun.”
Kemudian Raja Najāsyī memukulkan tangannya di tanah dan kemudian dia mengambil semacam kayu dan berkata, “‘Īsā bin Maryam tidak melebihi hal ini.”
(Artinya benar, ‘Īsā adalah sebagai hamba dan rasūl-Nya)
Maka pembesar-pembesar Najāsyī tatkala itu menghembuskan nafas (jengkel) maka raja Najāsyī mengatakan, “Pergilah kalian wahai shahābat-shahābat Muhammad, kalian bebas di negeriku.”
Inilah dialog yang terjadi antara Ja’far bin Abi Thālib dengan Raja Najāsyī yang menunjukkan bagaimana hasadnya orang-orang kāfir Quraisy, mereka berusaha agar raja Najāsyī memulangkan para shahābat ke Mekkah, namun mereka tidak berhasil.
Dan dikatakan dalam hadīts yang shahīh bahwa Raya Najāsyī kemudian masuk Islām.
Dan tatkala meninggal dunia ternyata anak buahnya masih dalam agama Nashrāni sehingga tidak ada yang menyalātkannya, maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyalātkannya dengan shalāt ghāib.
Oleh karenanya di antara keyakinan yang sangat mendasar bahwasanya ‘Īsā ‘alayhissalām adalah hamba Allāh dan rasūl- Nya, bukanlah Tuhan atau anak Tuhan.
Demikian saja.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
________