🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأخوانه
Kita masuk pada poin berikutnya yaitu “Dakwah secara terang-terangan”.
Telah kita jelaskan bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdakwah selama 3 atau 4 tahun secara diam-diam dan mendakwahi orang yang dekat dengan beliau.
Sampai akhirnya Allāh memerintahkan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk dakwah terang-terangan setelah 3 tahun Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdakwah.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla turunkan Firman-Nya:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang dekat.”
(QS Asy Syu’arā: 24)
Sebenarnya orang-orang Quraisy sudah merasa bahwa ada orang yang mengikuti agama Islām.
Misal:
⇒ Melihat Bilāl shalāt, tetapi orang-orang Quraisy tidak menganggap itu suatu masalah.
Kenapa?
Karena di zaman itu juga ada orang-orang yang berada di atas millāh hanifiyyah, yang mereka mengikuti agama Ibrāhīm ‘alayhissalām dan tidak menyembah berhala dan tidak melakukan kesyirikan.
Di antara orang-orang tersebut adalah Waraqah bin Naufal, Umayyah bin Abi Sofyan, Zaid bin Amr bin Naufal.
Namun, mereka menganggap dakwah mulai menjadi masalah tatkala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mendakwahkan dan menyuruh untuk meninggalkan kesyirikan, yaitu mulai mengatur aturan mereka (misalnya) menurunkan aturan hukum Islām.
Adapun saat masing-masing sibuk sendiri dengan ibadahnya maka tidak mengapa.
Oleh karenanya ketika Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mulai berdakwah secara jahriyyah maka mulai dianggap suatu masalah.
Disebutkan bahwa di akhir dakwah Jahriyyah, ada sekitar 40 orang atau 60 orang yang masuk Islām, akan tetapi Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mau menyebutkan nama-nama mereka karena kasihan. Di antara mereka ada yang orang-orang miskin yang jika ketahuan maka akan dimusuhi.
Oleh karenanya saat ada orang bernama ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, seorang shahābat yang masuk Islām, tatkala dia datang dari negeri yang jauh untuk datang ke Mekkah kemudian mencari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Dan setelah bertemu dengan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka dia berkata:
“Siapakah kamu?”
Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
“Aku adalah seorang Nabi.”
‘Amr: “Apa itu Nabi?”
Nabi: “Allāh telah mengutusku.”
‘Amr: “Allāh mengutusmu dengan membawa apa?”
Nabi: “Allāh mengutusku untuk menyambung silaturahmi, menghancurkan patung-patung dan agar Allāh ditauhīdkan dan tidak disyirikkan sama sekali.”
‘Amr: “Siapa yang mengikuti agamamu?”
Nabi: “Bersamaku seorang budak dan seorang merdeka.”
‘Amr: “Saya tidak melihat tatkala itu kecuali Abū Bakr Ash-Shiddīq dan Bilāl.”
Di sini, Nabi tidak menyebutkan semua yang masuk Islām, walaupun akhirnya nanti ketahuan sehingga ada yang dibunuh, ditangkap.
Padahal secara logika, kalau Nabi berkata, “Orang yang sudah masuk Islām sudah 40 atau 60 orang,” maka bisa membuat ‘Amr tertarik. Tetapi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mengenal ‘Amr karena ‘Amr adalah orang di luar Arab.
Akhirnya dia tertarik kepada Islām dan masuk Islām dan dia ingin berdakwah menolong Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tetapi kata Nabi tidak boleh dan diperintahkan untuk berdakwah saja di kampungnya.
Kenapa?
Karena ‘Amr bin ‘Abasah adalah bukan orang Arab, apabila dia disakiti maka siapa yang akan menolongnya?
Maka akhirnya dia pulang ke kaumnya dan kaumnya menerima sehingga banyak yang masuk Islām.
Maka tatkala Allāh menyuruh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk berdakwah secara terang-terangan, kata ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā:
“Saat turun ayat wa andzir ‘asyīratakal aqrabīn.”
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam langsung berdiri dan berkata:
يَا فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ يَا صَفِيَّةُ بِنْتَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا سَلُونِي مِنْ مَالِي مَا شِئْتُ
“Wahai Fāthimah bintu Muhammad, wahai Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththālib, wahai anak-anaknya ‘Abdul Muththālib, aku tidak bisa menolong kalian (di akhirat) sama sekali, jika ingin harta maka akan aku berikan.”
(HR Muslim nomor 205)
Dari Abū Hurairah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata:
لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ{ وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ }
دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي مُرَّةَ بنِ كَعْبٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ يَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
Saat turun ayat “wa andzir ‘asyīratakal aqrabīn” maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyeru orang-orang Quraisy, maka merekapun berkumpul dan berkata:
“Wahai Bani Ka’ab bin Luay, selamatkan diri kalian dari neraka Jahannam.
Wahai Bani Murrah, selamatkanlah diri kalian dari neraka Jahannam.
Wahai Bani Abdi Syamsy, selamatkanlah diri kalian dari neraka Jahannam.
Wahai Bani Abdi Manāf, selamatkanlah diri kalian dari neraka Jahannam.
Wahai Bani Hāsyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka Jahannam.
Wahai Bani Abdul Muththālib, selamatkanlah diri kalian dari neraka Jahannam.
Wahai Fāthimah, selamatkanlah dirimu dari neraka Jahannam, karena sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian.”
(HR Muslim nomor 204)
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan dari yang umum ke khusus. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, kisah ini masyhur, banyak yang meriwayatkan, diantaranya adalah ‘Āisyah, Abū Hurairah sedangkan Ibnu ‘Abbas menjelaskan dengan sedikit detail tatkala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdakwah pertama kali secara terang-terangan.
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } وَرَهْطَكَ مِنْهُمْ الْمُخْلَصِينَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى صَعِدَ الصَّفَا فَهَتَفَ يَا صَبَاحَاهْ فَقَالُوا مَنْ هَذَا الَّذِي يَهْتِفُ قَالُوا مُحَمَّدٌ فَاجْتَمَعُوا إِلَيْهِ فَقَالَ يَا بَنِي فُلَانٍ يَا بَنِي فُلَانٍ يَا بَنِي فُلَانٍ يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَاجْتَمَعُوا إِلَيْهِ فَقَالَ أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلًا تَخْرُجُ بِسَفْحِ هَذَا الْجَبَلِ أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِيَّ قَالُوا مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ كَذِبًا قَالَ فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ قَالَ فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ تَبًّا لَكَ أَمَا جَمَعْتَنَا إِلَّا لِهَذَا ثُمَّ قَامَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ السُّورَةُ تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَقَدْ تَبَّ
Tatkala turun ayat (“Berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat yaitu kaum kerabatmu yang benar-benar ikhlas.” Qs. Asy Syu’ara`: 214). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menaiki Bukit Soffa lalu berteriak:
“Wahai saudara-saudara.”
Sebagian mereka tertanya, “Siapakah yang berteriak.” Sebagian mereka menjawab, “Muhammad.”
Ketika mereka berkumpul, beliau bersabda:
“Wahai bani fulan! bani fulan! bani fulan! Wahai bani Abdul Manaf! Wahai bani Abdul Muththalib!”
Tatkala mereka telah menghampiri beliau, beliau bersabda:
“Apakah pendapat kalian apabila aku mengabarkan bahwa sekelompok pasukan berkuda akan keluar melalui kaki bukit ini untuk menyerang kalian. Apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menjawab:
“Kami tidak pernah mendapatimu berdusta.”
Beliau bersabda lagi:
“Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian tentang azab yang pedih.”
Maka Abu Lahab pun mencela:
“Celaka kamu! Apakah hanya karena ini kamu mengumpulkan kami?”
Setelah dia berlalu, turunlah surat (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan celaka.”)
Demikianlah Al A’masy membaca hingga akhir surat.
(HR Muslim nomor 208)
Tatkala turun firman Allāh, “Berilah peringatan kepada keluarga yang terdekat.”
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam keluar dari rumahnya kemudian naik di Jabal Shafa kemudian berkata, “Yā shabāhāh (ada bahaya, panggilan kepada orang Arab untuk memperingatkan bahaya).”
Orang-orang kāfir Quraisy dahulu tatkala mereka ingin memperingatkan kepada suatu bahaya, mereka naik ke atas gunung, kemudian mereka buka baju mereka, kemudian melemparkan pasir ke wajah mereka sambil berteriak, “Yā sabāhāh.”
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menggunakan metode tersebut tetapi tidak membuka baju dan tidak melempar pasir ke kepala karena ini adalah adat Jāhilīyyah.
Para ulamā menjelaskan terkadang kita boleh mengikuti tradisi, apabila tradisi itu benar dan tidak bertentangan dengan syari’at Islām dan ada manfaatnya dan tidak dikatakan tasyabuh.
Contohnya:
√ Tatkala perang khandaq kaum muslimin akan dikepung oleh sekitar 10.000 pasukan, bekerja sama antara orang-orang Badui dan suku Quraisy dan juga orang-orang munāfiq.
Tatkala itu Salman Alfarizi memberi ide untuk membuat khandaq (parit yang besar lebarnya 4 meter dalamnya 4 meter) agar tidak bisa dilewati oleh kuda.
Ini kebiasaan adat yang dilakukan oleh orang-orang Persia tatkala mereka terdesak. Namun karena ini bermanfaat maka tradisi itu diambil oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Siapa yang mengajarinya? Salman Alfarizi orang Persia.
√ Tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengirim surat kepada Heraclius, kepada kaisar Romawi, kepada Qishrah raja Persia, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala ingin mengirim surat, mereka mengatakan, “Tidak akan diterima surat tersebut harus diberi tanda (stempel).” Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam membuat cincin yang tertulis “Muhammad Rasūlullāh”.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam membuat cincin untuk mengikuti tradisi mereka karena mereka tidak akan terima surat tersebut kalau tidak ada capnya.
Ini perkara duniawi, selama dia bermanfaat maka tidak dikatakan tasyabuh.
Oleh karenannya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memanfaatkan tradisi orang-orang Arab dahulu (Jāhilīyyah) ketika ingin mengumpulkan masyarakatnya, kemudia naik keatas gunung dan berteriak, “Yā shabāhāh.”
Maka berkumpullah seluruh orang-orang kāfir Quraysh tatkala itu dan bertanya, “Siapa yang berteriak?”
Lalu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:
“Wahai kaum Quraisy, kalau saya kabarkan kepada kalian bahwa di balik gunung ini ada pasukan berkuda ingin menyerang kita, apakah kalian akan membenarkan perkataanku?”
Kata mereka, “Kami tidak pernah tahu engkau berdusta sama sekali, yang kami tahu engkau adalah seorang yang jujur.”
“Kalau begitu saya ingatkan kepada kalian dengan adzab yang pedih yang ada di hadapan kalian kalau kalian tetap di atas kesyirikan kalian.”
Maka Abū Lahab marah dan berkata, “Celakalah engkau wahai Muhammad, engkau kumpulkan kita hanya untuk ini?”
Kemudian Abū Lahab berdiri dan turunlah ayat “Tabbat yadā abi lahabiw watabb (celaka ke-2 tangan Abū Lahab)”, sampai selesai.
Abū Lahab masuk neraka, istrinyapun masuk neraka. Istrinya suka mencela Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, Allāh sebutkan dia dan istrinya masuk neraka jahannam.
Dan ini kata para ulamā adalah mu’zijāt dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh tidak pernah memvonis orang-orang Quraisy masuk neraka kecuali Abū Lahab.
Disebutkan namanya Abū Lahab akan masuk neraka, Abū Jahal saja disebutkan dalam Al Qur’ān atau tidak? Tidak.
Abū Lahab di awal dakwah sudah Allāh vonis dia masuk neraka jahannam dan benar dia tidak akan berimān kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Padahal pada zaman itu banyak orang yang memusihi Nabi akhirnya mereka masuk Islām. Allāh sudah taqdirkan Abū Lahab tidak masuk Islām, maka sejak awal dakwah Allāh sudah mengatakan dia akan masuk neraka jahhannam, dan ini benar, ini adalah mu’zijāt Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Demikian saja.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
————————————-