Bab 07 | Pembangunan Ka’bah Dan Awal Diturunkan Wahyu (Bag. 9 dari 12)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Para ulamā bersilang pendapat mengenai kapan turunnya wahyu dari malāikat Jibrīl kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Namun ulamā bersepakat bahwasanya terjadinya pada hari Senin.

Pada pembahasan yang lalu, telah disebutkan hadīts ketika Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ditanya, “Kenapa engkau berpuasa pada hari Senin?”

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Karena hari Senin adalah hari dimana saya dilahirkan dan hari dimana Allāh menurunkan wahyu kepadaku.”

Namun mengenai bulan dan tanggal tepatnya, maka terjadi silang pendapat.

Ibnul Qayyim rahimahullāh mengatakan:

“Kebanyakan ulamā berpendapat bahwa turunnya wahyu kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah terjadi bulan Rabi’ul Awwal, karena hadīts menunjukkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus ketika usia beliau tepat 40 tahun (di awal 40 tahun) yaitu tahun 41 H (tahun Gajah).”

Sebagian ulamā menyatakan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi sallam diutus pada bulan Ramadhān dengan dalīl:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhān yang Allāh turunkan padanya Al Qurān.”

(QS Al Baqarah: 185)

Adapun Rabi’ul Awwal adalah awal mimpi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, sedangkan wahyu turun dalam bentuk Al Qurān adalah pada bulan Ramadhān.

Mengenai tanggalnya, maka tidak ada dalīl yang kuat.

Bahkan sebagian ulamā mengatakan bahwa yang benar adalah Al Qurān turun di 10 terakhir bulan Ramadhān, karena Al Qurān turun di malam Laylatul Qadr.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Kami turunkan Al-Qurān di malam Laylatul Qadr.”

(QS Al Qadr: 1)

Adapun yang mengkhususkan bahwa malam Laylatul Qadr adalah tanggal 17 Ramadhān maka tidak ada dalīlnya.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini:

⑴ Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mencari wahyu, seperti yang diklaim oleh Ibnu Sina bahwasanya kenabian itu perkara yang bisa dicari.

Kalau seandainya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mencari wahyu, tentunya ini yang ditunggu-tunggu.

Tetapi Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika didatangi malāikat malah Nabi ketakutan.

Nabi memang tidak mencari wahyu dan tidak menduga kalau dirinya akan dijadikan seorang Rasūl, meskipun Beliau telah mengalami hal-hal yang menakjubkan.

Seperti:

√ Batu memberi salam kepada Beliau.
√ Jantung Beliau dibuka dan dibelah.
√ Mimpi-mimpi yang selalu terbukti dan terjadi.

⑵ Pentingnya memiliki istri yang shālihah.

Lihatlah bagaimana peran Khadījah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā. Seorang suami tatkala mendapat masalah maka seorang istri berusaha menenangkan suaminya.

Peran Khadījah luar biasa kepada Nabi yang mendengarkan keluh kesah suaminya. Bahkan beliau membawa Waraqah bin Naufal, salah seorang yang shālih, untuk menjelaskan kondisi Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Oleh karenanya para dokter mengatakan apabila ada orang dalam keadaan bersedih, maka jika dia tidak mampu memikul beban itu, boleh diungkapkan, namun tidak kepada setiap orang. Seharusnya, yang paling utama dan pertama adalah, hendaknya dia menyampaikan keluh kesahnya kepada Allāh, sebagaimana perkataan Ya’qub ‘alayhissalām (bapaknya Nabi Yūsuf):

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya aku hanya mengeluhkan kesedihanku kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”

(QS Yūsuf: 85)

Oleh karenanya yang pertama dan utama adalah kita mengeluhkan segala kesulitan kita adalah kepada Rabbul ‘ālamīn, baik melalui shalāt dan kemudian berdo’a kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan amal shālih lainnnya.

Setelah itu tidak masalah jika kita pergi ke sebagian orang untuk mencari solusi. Sebagaimana Nabi mengeluh kepada istrinya.

Oleh karenanya jika seseorang memiliki istri shālihah dan pengertian maka ini sangat indah sehingga bisa mengurangi beban suaminya.

Ini juga diantara betapa cerdasnya Khadījah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā, ketika beliau mengantarkan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, seorang yang shālih yang mampu memberi nashihat.

⑶ Orang yang selalu melakukan kebaikan karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka Allāh tidak akan menghinakan dia selamanya.

Ini adalah sunnatullāh yang tidak akan mungkin berubah.

Orang yang bersosialisasi, bergaul dan berinteraksi karena Allāh, bukan karena cari muka atau perhatian atau pujian, maka Allāh tidak akan pernah menghinakan dia.

Bahkan Khadījah menasehati Nabi dengan mengatakan:

كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّح

“Sekali-kali tidak, bergembiralah! Demi Allāh sesungguhnya Allāh selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allāh sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu dan menolong orang-orang yang terkena musibah.”

(HR. Al Bukhāri I/4 nomor 3 dan Muslim I/139 nomor 160)

Karena itu, orang yang kehidupannya penuh dengan membantu orang lain, maka tidak akan dihinakan oleh Allāh, dengan syarat dia membantu dengan Ikhlās.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________