Bab 06 | Halful Fudhūl Dan Pernikahan Dengan Khadijah (Bag. 4 dari 8)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Alhamdulillāh, Allāh Subhānahu wa Ta’āla masih memberikan kita kesempatan untuk bersua kembali dalam rangka untuk mempelajari perjalanan sejarah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

In syā Allāh, kita akan membahas poin tentang pernikahan antara Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan sayyidah Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā.

Disebutkan oleh beberapa ahli tarikh, Khadījah melakukan pinangan melalui sebagian kenalannya dengan cara memberi isyarat kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam agar menikahi Khadījah.

Yaitu tidak langsung karena seorang wanita harus tetap menjaga dirinya.

Dan ini juga sebagai dalīl, sebagaimana dijelaskan para ulamā, bahwa seseorang ketika memiliki anak atau adik perempuan, tidak mengapa jika dia menawarkan anak atau adik perempuannya tersebut kepada seorang lelaki yang shālih.

Tentunya dengan cara yang baik dan tidak merendahkan.

Karena mencari suami yang shālih tidak mudah, sebagaimana tidak mudah pula mencari wanita yang shālihah, terlebih di zaman sekarang ini.

Kalau dikenal ada seorang yang berakhlaq mulia, ibadahnya baik, maka jika sudah terkumpul 2 perkara ini (ibadah dan akhlaq yang baik), jangan dilepaskan.

Sampai-sampai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengancam orang yang menolak lelaki seperti ini:

عَنْ أَبِى حَاتِمٍ الْمُزَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ « إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

“Dari Abū Hātim Al Mizany radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Jika telah datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhāi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian), jika tidak maka niscaya akan terjadi musibah dan kerusakan di bumi.”

Mereka bertanya:

“Wahai Rasulullah, meskipun ia mempunyai sesuatu (aib)?”

Beliau bersabda:

“Jika telah datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhāi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak perempuan kalian).”

Beliau mengatakan itu tiga kali.

(HR. Tirmidzi dan dishahīhkan oleh Al Syaikh Albāniy rahimahullāh didalam shahīh At Tirmidzi, nomor 1084)

Disini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam membedakan antara akhlaq dengan agama.

Ada orang yang nampaknya agamanya bagus (misal rajin shalāt , puasa sunnah) namun akhlaqnya belum tentu bagus.

Misalnya punya hutang tidak dibayar padahal mampu untuk membayar, tidak amanah, mulutnya kotor/kasar, tidak menghargai orang lain dan yang semisal.

Jika telah terkumpul pada seorang lelaki agama dan akhlaqnya, maka jangan kita tolak selama anak atau adik perempuan kita menyukainya, namun juga jangan dipaksa.

Dengan harapan suami yang shālih ini akan menghasilkan keturunan yang shālihīn.

Para salaf dahulu mereka tidak ragu untuk menawarkan anak atau adik perempuan mereka kepada orang-orang yang shālih.

Contohnya, ‘Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Bukankah beliau telah menawarkan putrinya Hafshah kepada Abū Bakr dan ‘Utsmān?

‘Umar mengetahui siapa Abū Bakr dan siapa ‘Utsmān, yaitu orang-orang yang dikenal shālih.

Umar menawarkan tanpa malu karena ini mashlahah bagi kita dan anak-anak kita.

Jangan kita biarkan anak kita menikah dengan sembarang orang yang hanya tampan tetapi akhlaqnya tidak baik, yang berpotensi malah merusak anak kita.

Begitu juga Nabi Mūsā ditawarkan untuk menikah.

Ketika sampai di negri Madyan, kemudian beliau menolong 2 wanita, sebagaimana Allāh kisahkan dalam surat Al Qashash.

إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖفَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۖوَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚسَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ الَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu in syā Allāh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”

(Al Qashash: 27)

Akhirnya, Khadījah melalui temannya memberi isyarat kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk menikahi Khadījah.

Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun maju untuk melamar Khadījah.

Akhirnya terjadilah pernikahan antara lelaki yang sangat shālih dan mulia yang mengatakan:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ اْلحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَاءِيْ وَ أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ.

“Aku adalah pemimpin anak Ādam pada hari kiamat dan bukannya sombong. Di tanganku bendera Al Hamd dan bukannya sombong, dan tidak ada seorang nabi pun, tidak pula Ādam juga yang lainnya ketika itu kecuali semua di bawah benderaku, dan aku orang pertama yang keluar dari tanah/kubur dan bukannya sombong.”

(HR Ahmad, Muslim, Abū Dāwūd , Tirmidzi, Ibnu Mājah)

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menikah dengan seorang wanita yang ‘afīfah (menjaga kehormatan), suci, mulia dan cerdas.

Semua sifat baik ini berkumpul pada Khadijah.

Termasuk juga berbagai macam keindahan, kecantikan wajah, kecantikan akal, akhlaq yang mulia serta harta yang banyak.

Demikian yang bisa disampaikan, In syā Allāh besok kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya.
__________