Home > Bimbingan Islam > Kitābul Jāmi' > Hadits 24 | Larangan Mengadu Domba (Bagian 2 dari 3)

Hadits 24 | Larangan Mengadu Domba (Bagian 2 dari 3)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita melanjutkan pembahasan tentang “Bahaya namimah”.

Di antara hal yang menguatkan bahwasanya namimah adalah dosa besar adalah bahwasanya seorang yang melakukan namimah pasti dia melakukan ghībah, tetapi sebaliknya orang yang melakukan ghībah belum tentu melakukan namimah.

Oleh karenanya dalam hadīts yang pernah kita sebutkan yaitu:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melewati dua kuburan, beliau mengatakan:

“Dua penghuni kubur ini sedang di adzab yang satu (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namīmah (mengadu domba).”

(Hadīts riwayat Bukhāri dalam Al Jami’ Ash Shahīh (1/317-Fathul Bari), no. 216, 218, 1361, 1378, 6052 dan 6055)

Dalam sebagian riwayat, “Adapun yang satunya melakukan ghībah.”

Jadi, hadīts tentang dua orang yang diadzab di dalam kuburannya​, salah satunya dalam satu riwayat dia melakukan namimah dan dalam riwayat lain dia melakukan ghībah.

Apa perbedaan antara namimah dengan ghībah?

Ibnu Hajar rahimahullāh telah menjelaskan bahwasanya telah diperselisihkan di antara para ulamā perbedaan tentang ghībah dan namimah.

Apakah kedua perkara ini, perkara yang sama? Ataukah dua perkara ini perkara yang berbeda?

Yang rājih bahwasanya dua perkara ini berbeda.

√ Namimah itu kita menyebutkan tentang kondisi seseorang, lalu diceritakan kepada orang lain dengan niat untuk merusak di antara mereka berdua dan tanpa ridhā dia ceritakan apakah diketahui atau tidak diketahui oleh orang yang kita ceritakan.

√ Ghībah yaitu menceritakan kejelekan seseorang yang orang tersebut tidak ridhā untuk dia ceritakan.

Bedanya dimana?

Bedanya, kalau namimah ada niat untuk merusak di antara keduanya sedangkan ghībah tidak disyaratkan demikian.

Terkadang seorang melakukan ghībah dan dia tidak ada niat untuk mengadu domba di antara kedua belah pihak.

Oleh karenanya orang yang melakukan namimah dia pasti melakukan ghībah karena dia pasti menceritakan suatu yang tidak diridhāi oleh saudaranya untuk diceritakan.

Ada tambahan untuk sisi namimah, yaitu niatnya untuk memecah belah atau mengadu domba di antara dua kaum muslimin.

Oleh karenanya Ibnu Hajar berkata:

كل نميمة غيبة وليس كل غيبة نميمة

“Sesungguhnya setiap namimah pasti ghībah, dan tidak setiap ghībah namimah.”

Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ini di antara hal yang menjelaskan bahwasanya namimah adalah dosa besar karena kita tahu ghībah adalah dosa besar dan namimah lebih parah daripada ghībah, karena di dalamnya ada sisi (keinginan) untuk kerusak hubungan dua orang.

Dan di antara hal yang menunjukkan namimah adalah perkara yang sangat buruk adalah karena namimah adalah bentuk menyakiti orang lain. Menyakiti dua orang yang mungkin tadinya baik, saling menyintai, kemudian dirusak dengan nammām (mengadu domba). Tentunya ini menganggu dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah melarang hal ini.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

(QS Al Ahzab: 58)

Justru kita dapati terlalu banyak dalīl yang menyerukan kepada kaum muslimin untuk saling menyintai, untuk saling menyayangi, untuk saling memberi udzur di antara mereka.

Bahkan di dalam Islām seorang boleh berdusta dalam rangka untuk mendamaikan.

Dalam hadīts, kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ

_”Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara, seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridhā, berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) diantara manusia.”

(Hadīts riwayat At Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albāniy kecuali lafazh [Untuk membuat istrinya ridhā])

Di dalam Islām seorang boleh berdusta dalam rangka untuk mendamaikan dua orang yang sedang bersengketa. Sedangkan namimah malah merusak dua orang yang saling menyintai.

Oleh karenanya, namimah merupakan dosa besar karena memutus hubungan antara dua orang yang saling menyintai atau dua pihak yang saling menyintai. Ini merupakan dosa besar dan sangat bertentangan dengan syari’at Islām.

Kemudian, di antara hal yang memperburuk namimah adalah namimah merupakan bentuk mencari-cari kesalahan orang lain. Karenanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلم يَدْخُل الإيمَانُ قَلْبَهُ ! لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang yang imannya masih sebatas lisannya dan belum masuk ke hati, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim, janganlah kalian mencari-cari aurat (‘aib) mereka. Karena barang siapa yang selalu mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan membongkar kesalahannya, serta barang siapa yang diungkap auratnya oleh Allah, maka Dia akan memperlihatkannya (aibnya) di rumahnya.”

(Hadīts riwayat Ahmad nomor 18940)

Orang yang melakukan namimah, dia banyak mengumpulkan kemungkaran.

Di antara hal yang menunjukkan buruknya namimah, pelaku namimah akan menderita pada hari kiamat.

Bukankah dalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?”

Para shahābat menjawab:

“Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”

Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalāt, puasa dan zakāt, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.”

(Hadīts riwayat Muslim nomor 2581, At Tirmidzi nomor 2418)

Namimah bisa menyebabkan ini semua. Namimah bisa menyebabkan:

√ Si A mencela si B, si B mencela si A.

√ Si A memukul si B, si B memukul si A.

Saling menuduh bahkan bisa berlanjut dengan pertumbahan darah. Semuanya gara-gara namimah.

Oleh karenanya jika namimah menyebabkan orang terjerumus ke dalam kebangkrutan, bagaimana lagi pelaku namimah tersebut.

Demikian, In Syā Allāh kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya.

Wallāhu Ta’āla A’lam bishawab.

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
————————————-

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top