🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita masuk pada hadīts yang ke-18.
Kata Al HafizH Ibnu Hajar:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -{ خَصْلَتَانِ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي مُؤْمِنٍ: اَلْبُخْلُ, وَسُوءُ اَلْخُلُقِ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَفِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ.
Dari Abū Sa’id Al Khudri radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Dua perangai yang tidak akan terkumpulkan pada seorang mu’min yaitu pelit dan akhlak yang buruk.”
Hadīts ini diriwayatkan oleh Imām At Tirmidzi dalam sanadnya ada kelemahan.
(HR Tirmidzi nomor 1885 versi Maktabatu Al Ma’arif nomor 1962)
Hadīts ini diriwayatkan juga oleh Al Imām Bukhāri dalam Adabul Mufrad dan juga Tirmidzi namun dalam sanadnya ada Shadaqah bin Mūsā.
⇒Shadaqah bin Mūsā adalah seorang rawi yang dhaif. Dan semua sanad-sanad kembali kepada (melalui jalur) Shadaqah bin Mūsā.
Shadaqah bin Mūsā, bila dia bersendirian (tidak ada yang menyertainya) dalam periwayatan maka hadītsnya menjadi lemah.
Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Dua perangai yang dicela oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang tidak mungkin terkumpulkan pada seorang mu’min yaitu:
⑴ Pelit
⑵ Akhlaq yang buruk
Dan perkataan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, “Tidak terkumpulkan pada seorang mu’min,” maksudnya adalah penafian (peniadaan).
Tatkala kita mendapati nash-nash yang ada penafian maka yang pertama kali kita bawakan adalah kepada nafiyul wujud (ke-ada-an).
Setelah nafiyul wujud tidak memungkinkan, maka kita bawakan kepada nafiyul shihah (ke-sah-an). Dan bila nafiyul syaikhah tidak memungkinkan maka kita bawa kepada nafiyul kamal (kesempurnaan).
Kita sekarang kita coba bawakan kepada nafiyu al wujud, dua perkara yang tidak terkumpulkan pada seorang mu’min
Tapi kenyataan yang kita dapati, ada seorang mu’min yang pelit dan juga dia berakhlak buruk.
Kalau begitu laa di sini adalah laa tasyami’an. Tidak mungkin dibawakan kepada nafiyul wujud (peniadaan wujudnya), karena wujudnya ada. Ada seorang mu’min yang berakhlak buruk dan juga pelit.
Kalau kita coba bawa kepada nafiyul shihah, tidak akan terkumpulkan pada seorang mu’min.
Tapi didapati ada seorang mu’min yang imānnya benar (sah) namun dia berakhlak buruk atau dia pelit.
Oleh karenanya bila makna laa tidak bisa kita bawa dua penaf’an ini maka kita bawakan pada makna Laa, penafi’an yang ketiga yaitu penafi’an kamal (kesempurnaan).
Artinya kita artikan hadīts ini, “Tidak sempurna imān seseorang kalau dalam dirinya masih ada sikap pelit dan juga akhlak yang buruk.”
Imānnya benar, seorang mu’min, tapi tidak sempurna, karena dalam dirinya ada perangai yang menyebabkan Imānnya tidak sempurna, (yaitu) perangai pelit dan akhlak yang buruk.
Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadīts ini, diantaranya:
√ Bahwasanya celaan terhadap الْبُخْلُ, sifat pelit,
Sifat pelit termasuk akhlak yang buruk namun dia disendirikan penyebutannya, bahkan didahulukan.
الْبُخْلُ وَسُوءُ الْخُلُقِ
“Pelit dan akhlak yang buruk.”
Tatkala disebutkan secara bersendirian, bukhl (pelit) ini menunjukan bahwasanya pelit adalah perangai yang sangat buruk. Akhlaq yang sangat buruk banyak, diantaranya pelit ini.
Oleh karenanya di Al Qurān banyak sekali dalīl-dalīl yang menjelaskan akan buruknya atau celaan terhadap sifat pelit ini.
Seperti firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam surat Al Haqqah: 34 dan surat Al Mā’ūn: 3:
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Mereka tidak mengajak orang untuk memberi makan kepada faqir miskin.”
Tidak mengajak orang untuk bersedekah. Karena dia sendiri tidak suka bersedekah, sehingga tidak menyuruh orang untuk bersedekah.
Demikian juga orang-orang penghuni neraka, diantara sifat mereka, kata mereka:
وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
“Kami dahulu tidak memberi makanan kepada faqir miskin.”
(QS Al Muddatstsir: 44)
Allāh juga mengatakan:
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (٨) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (٩)
“Adapun orang yang bakhil (pelit) dan merasa cukup, dan mendustakan pahala yang terbaik (hari akhirat).”
(QS Al Lail: 8-9)
Kemudian kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
“Yaitu orang-orang yang mereka bakhil dan mereka menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil seperti mereka.”
(QS An Nisā’: 37)
Ini perkara yang sangat menakjubkan. Kalau kita baca pada perkataan Al Imām Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir, beliau menjelaskan bagaimana buruknya orang-orang seperti ini.
Mereka sudah pelit, mereka tidak mau mengeluarkan hartanya, anehnya juga mereka ingin orang lain pelit, karena kata Allāh:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
“Mereka sendiri bakhil dan mereka menyuruh orang untuk bakhil seperti mereka.”
(QS An Nisā’: 37)
Seakan-akan mereka merasa tidak tentram kalau mereka melihat ada orang yang rajin bersedekah. Mereka ingin orang-orang tercela seperti dia.
Tatkala semuanya bakhil maka mereka tidak tercela. Tapi kalau mereka pelit sementara orang lain tidak pelit, maka mereka merasa rendah.
Ini fitrah mereka melakukan hal itu, sehingga mereka menyuruh orang lain untuk bakhil seperti mereka agar mereka tidak tercela.
Ini menunjukan buruknya tabi’at orang yang bakhil (pelit), tidak tentram kalau ada orang yang bersedekah.
Padahal kalau ada orang yang bersedekah bukanlah urusan dia. Kalau orang lain bersedekah itu harta orang lain (bukan) harta dia, lalu kenapa dia harus pusing? Kecuali jika harta dia yang berkurang.
Ikhwān dan Akhawāt BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
In syā Allāh kita lanjutkan pada kajian berikutnya.
Wallāhu Ta’āla A’lam bishshawab.
________