Home > Bimbingan Islam > Kitābul Jāmi' > Hadits 17 | Larangan Mendebat Sesama Muslim

Hadits 17 | Larangan Mendebat Sesama Muslim

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masuk pada hadīts yang ke-17 dari bab tentang Peringatan Terhadap Akhlak-Akhlak yang buruk.

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -{ لَا تُمَارِ أَخَاكَ, وَلَا تُمَازِحْهُ, وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ.

3 – ضعيف. رواه الترمذي (1995) وفي سنده ليث بن أبي سليم.

Dari Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Janganlah engkau mendebat saudaramu dan janganlah engkau mencandainya dan janganlah engkau berjanji kepadanya dengan satu janji yang engkau akan menyelisihinya.”

Hadīts ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang dhaif oleh karenanya Al Hafizh Ibnu hajar berkata:

أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ

Hadīts diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah.

Karena diriwayatkan dari jalan Laits bin Abi Sulaym.

⇒ Laits Abi Sulaym adalah perawi yang lemah, oleh karenanya didhaifkan oleh para Imām, seperti Imām Ahmad dan yang lainnya.

Dan kita tahu bahwasanya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullāh dalam kitābnya Bulūghul Marām, tidak mempersyaratkan harus menuliskan hadīts yang shahīh saja, tetapi beliau mengumpulkan dalam bukunya ini hadīts yang shahīh dan juga hadīts yang dhaif.

Dan fil ghalib (secara umum), biasanya kalau ada hadīts yang dhaif beliau menjelaskan (ingatkan) bahwasanya ini hadits yang lemah. Sebagaimana dalam hadīts ini beliau mengatakan bahwa hadītsnya sanadnya lemah.

Namun para ulamā menjelaskan bahwa hadīts ini meskipun secara sanad dia lemah akan tetapi maknanya benar dan didukung oleh hadīts-hadīts yang lain. Banyak hadīts-hadīts yang menjadi sawahid (penguat) makna hadīts ini.

Contohnya seperti hadīts yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, Imām Muslim secara marfu’, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الْخَصِمُ

“Orang yang paling dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah orang yang suka berdebat (paling lihai dalam berdebat).”

(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 2457 dan Muslim nomor 2668)

⇒Tentunya berdebat dalam keburukan.

Ini menguatkan makna dari hadīts tadi.

Demikian juga larangan-larangan tentang menyelisihi janji yang merupakan sifat orang-orang munafik. Juga banyak hadīts yang berkaitan dengan ini.

Oleh karenanya hadīts ini meskipun lafalnya secara sanad dhaif tetapi maknanya benar.

Pada hadīts ini ada tiga adab yang harus diperhatikan, yaitu:

⑴ Tidak boleh mendebat saudara.

Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, “Jangan engkau mendebat saudaramu.”

⇒ Apa yang dimaksud mendebat yang di larang ini?

Maksudnya adalah berdebat dengan saudara kita yang tujuannya bukan untuk mencapai kebenaran tetapi tujuannya adalah untuk menampakan kesalahan saudara kita. Untuk menunjukan bahwasanya perkataan dia, pendapat dia ada kekeliruan. Dan untuk menunjukan kehebatan kita, sehingga kita terlihat spesial tatkala bisa mengalahkan dia.

Jadi perdebatan seperti ini bukan mencari kebenaran tetapi dalam rangka untuk mencari kemenangan m, untuk menunjukkan saya yang menang

Maka ini perdebatan yang dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Kenapa?

Karena perdebatan ini hanyalah menimbulkan kejengkelan dan permusuhan.

Adapun kalau perdebatan dalam rangka untuk mencari kebenaran, berdebat dengan adab, menghormati pendapat yang lain, kita dengarkan terlebih dulu apa yang dia sampaikan, setelah kita dengar baru kita komentari maka ini tidak jadi masalah.

Bahkan bukan hanya kepada saudara tetapi kepada ahlul kitāb pun kita boleh berdebat.

وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Janganlah kalian mendebat ahlul kitāb kecuali dengan cara yang baik.”

(QS Al ‘Ankabūt: 46)

Bila berdebat dengan ahlul kitāb yang bukan saudara kita, debatlah dengan cara yang terbaik, kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla, apalagi dengan berdebat dengan saudara kita.

Oleh karenanya, lihatlah orang yang suka berdebat (dalam rangka untuk memenangkan dirinya), kebanyakan orang seperti ini tidak disukai oleh orang-orang (ditinggalkan oleh orang-orang).

Kenapa?

Karena isinya hanya berdebat, sukanya hanya berjidal. Kalau kita bertemu dengan orang seperti ini hendaknya kita tinggalkan orang tersebut.

Kemudian, bila kita berdialog dengan saudara kita dan niat kita adalah untuk mencapai kebenaran, kalau kita lihat saudara kita ternyata tidak sedang mencari kebenaran (ingin memenangkan dirinya untuk menguatkan pendapatnya) maka hendaknya kita tinggalkan debat.

Dan kita ingat hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

“Aku menjamin istana dipinggiran surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia di atas kebenaran.”

(Hadīts riwayat Abū Dāwūd no 4800 dengan sanad yang hasan)

Oleh karenanya, tatkala kita berdialog dengan saudara kita dan bila saudara kita mulai mengangkat suara, meskipun niat kita untuk mencari kebenaran, lebih baik kita tinggalkan.

Karena meskipun kita yang menang dalam perdebatan tersebut, setelah dialog itu selesai yang tersisa adalah kebencian dan dendam.

Akan tetapi bila saudara yang mengajak kita berdebat ternyata beradab maka tidak mengapa kita mendebati dia dengan cara yang baik.

⑵ Larangan untuk bercanda.

Kita tahu bahwasanya larangan tersebut tidak secara mutlak karena canda itu ada dua, yaitu:

√ Canda yang terpuji.
√ Canda yang tercela/dilarang.

① Canda yang terpuji

Canda yang terpuji, yaitu canda tidak terlalu sering dan bertujuan agar lebih dekat dengan saudara kita, untuk memasukan kesenangan dalam dirinya, maka ini tidak mengapa.

Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga mencandai para shahābatnya, sebagaimana para shahābat mengatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا

“Ya Rasūlullāh, engkau mencandai kami?”

قَالَ ” إِنِّي لاَ أَقُولُ إِلاَّ حَقًّا “

Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: ” Benar, namun aku tidak bercanda kecuali dengan perkataan yang benar.”

(Hadīts riwayat Tirmidzi no 1990)

Jadi bercanda boleh, bagus, terpuji dan dilakukan juga oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, namun tidak sering dan juga dengan perkataan yang benar.

② Candaan yang dilarang

Adapun candaan yang dilarang, yaitu bercanda yang terlalu sering, sehingga setiap bertemu bercanda. Maka akan hilang haibah (kharismatik)nya sehingga orang tidak mau mendengar lagi pendapatnya.

Pendapatnya akan dianggap candaan. Sehingga bila dia memiliki ide tidak akan diperhatikan, karena dia suka bercanda.

Kemudian yang berkaitan dengan hadīts ini adalah candaan yang bisa menyakiti saudara kita.

Sebagaimana di awal disebutkan dilarang seseorang mendebat saudaranya karena dikhawatirkan menimbulkan permusuhan demikian juga canda.

Canda juga terkadang berlebihan. Terkadang menurut kita tidak mengapa tapi menurut saudara kita masalah, sehingga dia tersinggung dan kita menganggu dia.

Adapun bercanda dengan penuh iktiram dengan tetap menghormati saudara kita, becanda sesekali dan berusaha menyenangkan hatinya, maka ini bercanda yang terpuji dan ini bisa mendekatkan seseorang dengan saudaranya.

⑶ Larangan menyelisihi janji

Jangan engkau berjanji kepada saudaramu dengan janji yang akan engkau selisihi.

Dan kesimpulan masalah janji, janji itu dilarang jika seseorang berjanji dan dia sudah niatkan untuk menyelisihi karena ini sifat orang-orang munafik.

Dalam hatinya dia sudah bertekad untuk menyelisihi janji tersebut.

⇒Ini tercela dan sifat orang munafik.

Adapun bila seorang berjanji dan dia sudah niatkan untuk menepati janji tersebut, namun qadarullāh dia tidak mampu atau dia mampu tapi berubah pendapat, misalnya karena ada maslahat yang lebih besar sehingga dia tinggalkan janji tersebut, maka ini bukan ciri orang munafik.

Kenapa?

Karena sejak awal orang tersebut sudah ingin menepati janjinya, tetapi tatkala melihat ada perubahan kondisi maka dia tidak menepati janjinya dengan alasan yang syar’i.

Kecuali, kata para ulamā, apabila dalam penyelisihan janji tersebut memberikan kemudharatan kepada orang yang dia janji, maka dia harus menepati janji atau dia menanggung kerugian orang tersebut.

Contohnya:

⇒ Seseorang berjanji kepada saudaranya, misalnya:

“In syā Allāh saya akan bayari engkau umrah bulan depan.”

Kemudian saudaranya ini sudah siap-siap (misalnya) membuat pasport dan lain-lain.

Qadarullāh, orang yang berjanji untuk mengumrahkan saudaranya ini tidak bisa memenuhi janjinya. Sehingga saudaranya ini rugi karena sudah mempersiapkan keperluan umrah, seperti menyiapkan pasport dan yang lainnya.

Maka dia (yang telah berjanji) wajib untuk menepati janjinya atau mengganti kerugian yang sudah dialami oleh saudaranya tersebut.

Demikianlah Ikhwān dan Akhawāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, adab seseorang dalam bergaul.

√ Jangan sampai berdebat dengan saudaranya sehingga menimbulkan kebencian diantara mereka.
√ Jangan pula mencandainya secara berlebihan sehingga timbul hal-hal yang tidak diinginkan.
√ Jangan berjanji dengan janji yang akan diselisihi.

Wallāhu Ta’āla A’lam bish shawwab.
________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top