🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~
وَعَنْ أَنَس رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas Radiyallāhu anhu dari Nabi Shallallāhu Alayhi Wasallam, beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah (sempurna) beriman seorang hamba sampai dia menyukai bagi tetangganya kebaikan yang dia suka untuk dirinya.”
(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)
~~~~~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
وَعَنْ أَنَس رضي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu dari Nabi Shallallāhu Alayhi Wasallam, beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah (sempurna) beriman seorang hamba sampai dia menyukai bagi tetangganya kebaikan yang dia suka untuk dirinya.”
(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)
⇒ Hadits ini adalah hadits yang agung, yang Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam buka dengan sumpah, kata Rasūlullāh Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya.”
Rasūlullāh Shallallāhu ‘Alayhi Wasallam bersumpah untuk apa? Untuk menekankan akan agungnya hak tetangga.
Dan Allāh Subhānahu Wa Ta’āla dalam Al-Qurān telah berfirman:
و الجار الجنب
“Dan berbuat baiklah kepada tetangga dekat”.
(QS An-Nisā: 36)
⇒ Sampai-sampai Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam mengatakan: “Tidaklah beriman seorang hamba sampai dia menghendaki kebaikan bagi tetangganya, apa-apa kebaikan yang disuka untuk dirinya.”
Dan model seperti ini (menyukai kebaikan bagi tetangga, kebaikan yang kita suka untuk diri kita juga kita ingin bagi tetangga), ini menunjukkan hukumnya wajib, karena sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dalam Kitābul Īmān.
Beliau menjelaskan bahwasanya:
◆ Tidaklah sesuatu dinafikan dalam syari’at kecuali karena ada suatu kewajiban yang ditinggalkan”
Contohnya:
● Sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ/ أحمد
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.”
(HR Ahmad)
⇒ Ini menunjukkan bahwasanya amanah hukumnya wajib.
Tatkala amanah ditinggalkan, maka divonis tidak ada iman. Berarti amanah hukumnya wajib.
● Dalam masalah shalat, Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam tatkala melihat ada seorang yang shalat kemudian menemui Nabi.
Kata Nabi Shallallāhu Alayhi Wasallam:
اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah shalat lagi, sesungguhnya kau belum shalat.”
(HR Bukhari 757, Muslim 397)
Kata para ulama, kenapa Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam menegur orang ini dan mengatakan “Kau belum shalat?”
⇒ Berarti ada perkara-perkara wajib yang ditinggalkan oleh orang ini sehingga Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam mengatakan, “Kau belum shalat”.
Adapun kalau hanya perkara sunnah yang ditinggalkan, maka tidak dinafikan.
Di dalam hadits ini Rasūlullāh Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam mengatakan: “Tidaklah beriman seorang hamba sampai dia menghendaki kebaikan bagi tetangganya, apa yang dia sukai untuk dirinya.”
⇒ Ini menunjukkan rasa cinta, kehendak, menghendaki kebaikan bagi tetangga sebagaimana kebaikan untuk diri kita, hukumnya adalah wajib (bukan sekedar sunnah).
Namun, ini bukan berarti apa yang kita miliki harus kita berikan kepada tetangga sebagaimana kalau kita punya mobil 2, berarti mobil yang satu buat tetangga.
Tidak begitu maksudnya.
Namun hanya sekedar rasa ingin, sebagaimana kita punya mobil, kita ingin tetangga kita juga punya mobil. Sebagaimana kita bahagia, kita ingin tetangga kita juga bahagia.
Perhatikan !
Ada hadits yang umum, berkaitan hubungan antara sesama muslim, kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai dia menghendaki kebaikan bagi saudaranya, kebaikan yang dia kehendaki untuk dirinya.”
(HR Bukhari no.13, Muslim no.45)
Kalau kepada saudara secara umum (meskipun tetangga jauh) kita wajib untuk menghendaki kebaikan bagi dia selama dia seorang muslim, (lalu) bagaimana lagi dengan tetangga yang dekat?
Oleh karenanya di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā, Nabi Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam pernah bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Senantiasa malaikat Jibrīl ‘alayihissalām berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku menyangka malaikat Jibrīl akan menuliskan atau menetapkan warisan bagi tetangga”.
(HR Bukhari 6014 dan Muslim 2624).
Kita tahu bahwasanya tetangga bukan ahli waris kita.
⇒ Kalau kita meninggal tetangga tidak dapat warisan, yang dapat warisan dari kita adalah kerabat kita, anak kita, ibu kita, orang tua kita.
Akan tetapi karena saking seringnya malaikat Jibrīl mewasiatkan kepada Nabi Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Nabi menyangka malaikat Jibrīl akan menulis bahwa tetangga akan memiliki jatah warisan, namun ternyata tidak.
Ini hanya sekedar penekanan dari Nabi Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam akan perhatian malaikat Jibrīl terhadap tetangga.
Dalam hadits yang lain Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَل يُحْسِنْ ألى جَارِهِ
“Barang siapa beriman kepada Allāh dan hari Akhirat, maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya”.
(HR Bukhari no. 4787 dan Muslim no. 69, lafazh hadits milik Muslim)
⇒ Ini juga perintah yang sangat tegas, Nabi mengatakan:
“Barang siapa yang beriman kepada Allāh dan hari Akhirat”.
Kalau dia beriman kepada Allāh Subhānahu Wa Ta’āla dan beriman kepada hari Akhirat (hari pembalasan), bahwasanya kebaikan dia akan diberi balasan oleh Allāh Subhānahu Wa Ta’āla, bahwasanya dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allāh Subhānahu Wa Ta’āla.
Dia beriman dengan hari akhirat, maka konsekuensinya kata Nabi Shallallāhu ‘Alayhi Wasallam “falyuhsin ilā jārihi” (maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya).
Ikhwan dan akhawat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu Wa Ta’āla,
Berbuat baik kepada tetangga ini perkara yang mulai hilang di kalangan kaum muslimin.
Bahkan kita lihat di sebagian kota, seseorang tidak mengenal tetangganya sama sekali; masing-masing sibuk dengan urusannya masing-masing.
Padahal tidak demikian, Rasūlullāh Shallallāhu ‘Alayhi Wa sallam menganjurkan bahwasanya sesama tetangga harus saling mengenal, karena tetangga punya hak yang harus kita tunaikan.
Kata para ulama, “Siapa tetangga kita ?”
Sebagian ulama mengatakan:
◆ Tetangga kita yaitu orang-orang yang kita bertemu dengan mereka di masjid (satu masjid).
⇒ Artinya semakin dekat semakin punya hak semakin tinggi.
Apalagi tetangga yang pintunya berdekatan dengan pintu rumah kita maka dia punya hak yang lebih tinggi, maka:
✓Kita ziarahi (kunjungi),
✓Kalau ada yang sakit kita datangi,
✓Kita bertanya tentang kabar-kabarnya,
⇒ Karena dia punya hak untuk kita tunaikan.
Jadi, berbuat baik kepada tetangga bukan hanya berarti tidak mengganggu mereka, tetapi berusaha berbuat baik kepada mereka.
✓Kalau ada makanan yang kita masak, maka kita berikan kepada tetangga kita.
✓Kalau ada sesuatu yang mungkin bisa membahagiakan tetangga kita, kita berikan.
⇒ Itu namanya hak tetangga.
Yang jadi masalah kalau sebaliknya, berbuat buruk kepada tetangga:
✓Di rumah kita ada suara-suara yang mengganggu tetangga yang membuat mereka susah untuk tidur.
✓Kita punya pengairan air yang akhirnya masuk ke tempat tetangga, menggangu mereka, menjadikan becek pekarangan mereka.
✓Atau hal-hal lain yang mengganggu tetangga.
⇒ Semuanya dilarang dan bertentangan dengan hadits yang mulia ini.
Semoga Allāh Subhānahu Wa Ta’āla menjadikan kita semua bisa berbuat baik kepada tetangga.
وبالله التوفيق
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
______________________________