Home > Dirosah Islamiyah > Kitabul Buyu' Matan Abu Syuja > Materi 51 – Rahn (Gadai) Bag 05

Materi 51 – Rahn (Gadai) Bag 05

🌍 WAG Dirosah Islamiyah
🎙 Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA حفظه لله تعالى
📗 Kitabul Buyu’ Matan Abu Syuja
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أَمَّا بَعْدُ

Kita memasuki pembahasan tentang رٙهْن (Gadai).

Al muallif mengatakan,

في الديون إذا استقرثبوتها في الذمة

Adanya gadai itu menurut madzhab Syafi’i itu hanya dibolehkan pada akad hutang piutang yang sudah inkrah (berkekuatan hukum). Adapun hutang piutang yang berpotensi gagal (batal) berhutang, maka belum boleh ada akad gadai.

Misalnya apa? contohnya ketika Anda membeli 1 barang dengan pembayaran tertunda. Anda mengatakan kepada penjual, “Saya beli motor Anda senilai 10 juta, tetapi pembayarannya sebulan yang akan datang”.

Alias saya berhutang pembelian motor ini. Maka dalam tempo satu bulan Anda belum inkrah (berkekuatan hukum), hutang piutang antara Anda dan penjual belum berkekuatan hukum alias masih ada kemungkinan batal.

Walaupun secara de facto karena Anda telah menerima motor dan Anda telah membuat komitmen akan membeli dengan catatan adanya hak khiyar, maka Anda punya kewajiban untuk melakukan pembayaran.

Namun demikian kewajiban ini ada kemungkinan batal. Karena bisa jadi Anda akhirnya memutuskan untuk membatalkan jual-beli ini. Sehingga hutang nilai penjualan motor ini belum berkekuatan hukum alias masih ada kemungkinan batal.

Maka dalam kondisi semacam ini belum boleh ada gadai walaupun Anda sudah mengikrarkan berhutang tetapi karena hutang Anda itu masih potensi batal maka Anda belum boleh mengadakan gadai.

Pihak yang menjual juga belum boleh meminta barang gadai, kenapa? Ini adalah konsekuensi dari sudut pandang yang pertama, bahwa gadai itu adalah instrument pembayaran. Karena hutangnya masih potensi batal maka belum ada pembayaran, belum ada kewajiban untuk melakukan pembayaran.

Karena belum ada kewajiban melakukan pembayaran masih ada potensi batal, maka berarti belum boleh ada gadai. Ini konsekuensi dari anggapan bahwa gadai itu adalah instrument pembayaran.

Namun kalau kita kembali kepada yang telah disampaikan bahwa gadai bukan instrument pembayaran, gadai hanya sebatas alat bukti adanya ikatan hutang piutang, atau bahkan gadai itu hanya sebatas alat bukti mutlak. Maka tidak mengapa Anda menyerahkan barang gadai kepada penjual walaupun Anda masih ada kemungkinan untuk membatalkan transaksi jual beli tersebut.

Bahkan lebih jauh dari itu, kalaupun tidak ada hubungan hutang piutang sama sekali karena gadai hanya sebatas alat bukti, maka gadai boleh diaplikasikan pada akad-akad lain yang tidak ada kaitannya dengan hutang piutang.

Misalnya dalam akad mudharabah (bagi hasil) ketika pemodal menyerahkan modalnya kepada pengusaha untuk dikelola dan di-investasikanuntuk berdagang sehingga menghasilkan keuntungan.

Maka dalam kondisi semacam ini kadangkala pemodal mensyaratkan kepada pengusaha untuk memberikan jaminan gadai berupa barang, kalau ternyata nanti pada prakteknya si pengusaha (pelaku usaha) melakukan tindakan wanprestasi (menyelisihi kesepakatan, melanggar ketentuan) yang telah disepakati kedua belah pihak sehingga mendatangkan kerugian, menyebabkan adanya kerugian, maka barang yang digadaikan tersebut akan dilelang dan dari hasil lelangnya akan dipotongkan sejumlah kerugian yang terjadi akibat keteledoran/ kesengajaan atau kesalahan pengelola dalam menggunakan modal tersebut.

Ini akad mudharabah permodalan ternyata sebagian ulama mengatakan, boleh adanya gadai walaupun tidak ada utang piutang di sana, karena gadai hanya sebatas alat bukti dan bukan instrument pembayaran.

Sehingga wallahu ta’ala ‘alam pendapat yang kedua inilah yang lebih fleksibel dan sesuai dengan praktek masyarakat zaman sekarang dan bahkan sejak zaman dahulu yang itu merupakan anggapan (persepsi) bahwa gadai itu sebatas alat untuk bukti bukan alat untuk pembayaran, maka pendapat ini lebih fleksibel dan sekali lagi itu sejalan dengan praktek masyarakat sepanjang masa dan itulah yang diajarkan dalam madzhab Al Imam Malik rahimahullahu ta’ala.

Kesimpulannya: Gadai itu dibolehkan dan pernah dipraktekkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan diakhir hayat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum beliau meninggal beliau menggadaikan perisai barangnya kepada orang Yahudi pada satu transaksi pembelian gandum untuk keluarga beliau.

Ketika beliau meninggal, nabi belum sempat melunasi (menebus) barang gadai tersebut sehingga hadits ini membuktikan bahwa gadai itu satu ketetapan (satu hukum) syarat yang tidak dianulir karena tetap dipraktekkan nabi sampai akhir hayatnya.

Dan kesimpulan dari apa yang disampaikan bahwa gadai hanya sebatas alat bukti, alat untuk pembuktian adanya hubungan antara kedua belah pihak bukan instrument pembayaran.

Dengan demikian perbedaan dua persepsi inilah yang kemudian menghasilkan perbedaan hukum dan fatwa dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pergadaian.

Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top