🎙 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Fadhlul Islām
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-30 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Fadhlul Islām yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb rahimahullāh.
Beliau mengatakan:
وعن أبي قلابة عن رجل من أهل الشام
“Dan dari Abū Qilabah dari seseorang dari Ahlu Syām”
Beliau adalah Amr ibnu ‘Abbasah ibnu Amir ibnu Khalid nazala Syām, beliau seorang sahabat.
Kalau beliau adalah seorang sahabat, kalau:
عن أبي قلابة عن عمرو بن عبسة عن رجل من أهل الشام عن أبيه
Berarti seorang sahabat meriwayatkan dari seorang dari ahli Syām, dan orang dari ahli Syām ini meriwayatkan dari bapaknya.
Kalau yang ada di dalam nuskhah, di dalam musnad ‘Abd ibn Humid,
عن أبي قلابة عن عمرو بن عبسة قال، قال رجل : يا رسول اللّٰه
Berarti di sini ‘Amr ibn ‘Abbāsah langsung kepada rajulun yang dia bertanya kepada Rasūlullāh.
Ada kemungkinan demikian.
عن عمرو بن عبسة قال، قال رجل : يا رسول اللّٰه ما الإسلام ؟
Dan ucapan beliau (قال) belum tentu beliau melihat langsung laki-laki tadi bertanya, mungkin di sana ada perantara antara ‘Amr ibn ‘Abbāsah dengan rajulun tadi, tapi kalau yang ada di dalam musnad Abd ibn Humid di sini dari,
عن عمرو بن عبسة قال، قال رجل
Baik, hadīts ini adalah hadīts yang dhaif atau hadīts yang shahīh, kita lihat di sini عن أبيه
“Dari bapaknya”.
أنه سأل رسول اللّٰه – صلى اللّٰه عليه وسلم –
“Bahwasanya beliau bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam”
ما الإسلام ؟
“Apa yang dimaksud dengan Islām?”
Dan ini sesuai dengan bab ini, karena bab pengertian Islām, beliau membawakan seorang sahabat bertanya kepada Nabi tentang Islām. Tentunya jawaban Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah jawaban yang paling baik yang menunjukkan tentang hakikat Islām itu sendiri.
Beliau mengatakan:
فقال: أن تسلم قلبك لله
“Engkau menyerahkan hatimu kepada Allāh”
Sama dengan lafadz yang sebelumnya, berarti bathin kita harus diserahkan kepada Allāh, harus ikhlas, harus menjauhi riya, harus menjauhi sum’ah, hasad, dendam, tidak ada perasaan yang tidak baik kepada saudara seislām.
Itu yang pertama.
Kemudian yang kedua,
وأن يسلم المسلمون من لسانك ويدك
Dan kedua ini juga sudah disebutkan di dalam hadīts yang shahīh. Jadi yang pertama ini sudah disebutkan pada hadīts sebelumnya, dan hadīts yang sebelumnya riwayatnya, isnadnya Hasan.
Lafadznya ada di sana.
Adapun,
وأن يسلم المسلمون من لسانك ويدك
Maka ini ada di dalam hadīts yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim.
Seandainya hadīts ini dhaif, memudharatkan atau tidak? Tidak!
Karena lafadz-lafadz yang ada di dalamnya, maknanya sudah ada di dalam hadīts yang lain yang shahīh atau hadīts tersebut Hasan.
Jadi, seandainya dia adalah hadīts yang dhaif, Laa yadzur. Seandainya dia hadīts yang shahīh atau hasan maka ini jelas menguatkan.
قال: أي الإسلام أفضل ؟
“Penanya ini mengatakan: Islām apa yang paling afdhal?”
قال : الإيمان بالله
“Islām yang paling afdhal adalah beriman kepada Allāh”
Berarti iman kepada Allāh adalah bagian dari Islām, bahkan dia adalah Islām yang paling afdhal. Jadi tunduknya seseorang kepada Allāh dan Iman dia kepada Allāh, ini adalah bagian dari Islāmnya dia kepada Allāh ‘Azza wa Jalla.
الإستسلام لله بالتوحيد
Menyerahkan diri kepada Allāh dengan tauhīd adalah bagian dari keimanan kepada Allāh.
Ketika kita berbicara tentang iman kepada Allāh, ada 4 perkara yang harus ada pada iman kepada Allāh;
⑴ Dia meyakini bahwasanya Allāh itu ada.
⑵ Meyakini tentang Rububiyah Allāh.
⑶ Uluhiyah Allāh.
⑷ Nama dan juga sifat Allāh.
Berarti iman kepada Allāh, adalah intinya pada tauhīd, tauhīd rububiyah dan juga tauhīd uluhiyah, membawa kita kepada tauhīd uluhiyah, inilah yang paling afdhal.
Di dalam Islām yang paling afdhal adalah beriman kepada Allāh. Berarti Islām mencakup di dalamnya selain akhlak yang harus ditundukkan, hati yang harus ditundukkan, maka perlu kita ketahui bahwasanya apa yang ada di dalam hati seseorang berupa aqidah tentang Allāh, maka itu adalah bagian dari Islām yang paling afdhal.
قال: وما الإيمان بالله ؟
“Dia mengatakan lagi: apa yang dimaksud dengan beriman kepada Allāh?”
قال: أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، ويوم الآخر، والبعث بعد الموت
“Yang dimaksud dengan beriman kepada Allah adalah engkau beriman kepada Allāh, dan malaikat-malaikat-Nya, kitāb-kitāb-Nya, rasul-rasul-Nya, dan juga hari akhir, dan engkau beriman dengan (والبعث بعد الموت) beriman dengan Al-ba’ts setelah kematian”
Berarti Iman kepada Allāh ‘Azza wa Jalla kalau ditafsirkan dengan seperti ini menunjukkan bahwasanya yang namanya Iman kepada Allāh konsekuensinya adalah Al-iman kepada Allāh itu mengharuskan iman kepada rukun iman yang lain.
Kalau antum sudah beriman kepada Allāh, percaya kepada Allāh, Allāh mengatakan bahwasanya Allāh memiliki malaikat, Allāh memiliki malaikat yang mengamalkan ini, Allāh memiliki malaikat yang memiliki sifat ini. Kalau memang sudah beriman kepada Allāh, Allāh mengabarkan adanya malaikat, kita harus beriman dengan malaikat.
Allāh mengabarkan bahwasanya malaikat memiliki amalan demikian, sifat demikian, maka kita harus meyakini bahwasanya malaikat memiliki amalan dan juga sifat demikian.
Berarti beriman kepada malaikat adalah konsekuensi dari iman kepada Allāh. Beriman dengan kutub juga demikian. Kalau memang kita sudah beriman kepada Allāh, kemudian Allāh mengabarkan bahwasanya Allāh menurunkan kitab kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam, berarti konsekuensi dari keimanan kita kepada Allāh harus beriman dengan kitāb.
Kalau kita beriman kepada Allāh, maka ketika Allāh mengabarkan Allāh mengutus rasul dan menyuruh kita untuk beriman dengan rasul tadi, maka kita harus beriman dengan rasul tadi. Ini adalah konsekuensi dari Iman kita kepada Allāh.
Beriman dengan hari akhir juga demikian, karena Allāh mengabarkan tentang terjadinya hari Akhir.
Kemudian disebutkan:
والبعث بعد الموت
Dan ini adalah penyebutan yang khusus setelah yang umum.
Karena al-yaumil akhir lebih umum daripada والبعث بعد الموت.
Disebutkan, karena dia termasuk unsur yang paling penting di dalam beriman dengan hari Akhir.
Sudah kita sebutkan bahwasanya,
والبعث بعد الموت
Ini termasuk,
القدر المعجز في الإيمان باليوم الآخر
Termasuk kadar minimal di dalam beriman dengan hari Akhir adalah beriman dengan Al-Ba’ats (البعث), kemudian beriman dengan Al-Jaza’, dan Al-Jaza’ di sini mencakup surga dan juga neraka.
Orang yang mengingkari Al-Ba’ats, mengingkari kadar minimal di dalam beriman dengan hari akhir. Jelas, karena hari akhir itu terjadi setelah Al-Ba’ts.
زَعَمَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن لَّن يُبْعَثُوا۟ ۚ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّى
Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku,
(QS. At-Taghabun: 7)
Menunjukkan bahwasanya orang yang mengingkari Al-Ba’ats, maka dia telah keluar dari agama Islām. Dan ini adalah sifatnya orang-orang kafir, mengingkari Al-Ba’ats.
Dimana disebutkan Al-Iman bil qadr (الإيمان بالقدر)?
Disebutkan di dalam hadīts yang lain, dan hadīts saling melengkapi satu dengan yang lain. Maka jangan ada yang mengatakan “lho, berarti di sini ada pertentangan, ada kontradiktif”. Jangan bermudah-mudahan kita mengatakan demikian.
Pertama, seorang muslim ketika mendapatkan yang demikian (آمنت بالله) – aku beriman kepada Allāh. Kalau memang ini shahīh, maka aku beriman dengan apa yang datang dari Allāh semuanya.
كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا
“Semuanya adalah berasal dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla”
(QS. Āli-Imrān: 7)
Kemudian kita berusaha memahami, “oh, hadīts itu saling melengkapi satu dengan yang lain, saling membenarkan satu dengan yang lain, mungkin di sini disebutkan khusus, di sana disebutkan umumnya”. Atau kalau kita tidak tahu, kita yakin bahwasanya ulama mereka punya penjelasan tentang masalah ini. Makanya sebagian ulama karena kedalaman ilmu mereka dan besarnya dan luasnya pengalaman mereka, sampai berani untuk mengatakan dan menantang,
“Barangsiapa yang menemukan seperti ada ta’arudh di antara dalīl-dalīl maka datanglah ke sini, maka aku akan menjama'”.
Dan ini tidak diucapkan kecuali oleh seorang ulama yang rasikh di dalam ilmunya.
Syahidnya di sini, bahwasanya beriman kepada Allāh ini adalah bagian dari Islām, bahkan dia adalah afdhalul Islām.
Dan di sini kita memahami sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada seorang sahabat ketika minta diwasiati oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
فِي الْإِسْلَام قَوْلًا لَا أَسْأَل عَنْهُ غَيْرك
Kemudian Nabi mengatakan:
قُلْ: آمَنْت بِاَللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Katakanlah: aku beriman kepada Allāh, kemudian istiqamahlah!”
Dimana di sini iman kepada malaikat, iman kepada rasul, iman kepada kitāb, iman kepada takdir? Itu semua adalah konsekuensi dari beriman kepada Allāh. Karena dia minta yang ringkas, minta kalimat yang ringkas, maka seorang muslim memahami.
قُلْ آمَنْت بِاَللَّهِ
Kalau memang ana beriman kepada Allāh berarti harus beriman kepada malaikat, berarti harus beriman dengan rasul, berarti harus beriman harus beriman dengan kutub.
ثُمَّ اسْتَقِمْ
“Dan hendaklah engkau istiqamah”
Yaitu istiqamah di atas iman kepada Allāh dan konsekuensi-konsekuensi. Kalimat yang ringkas tetapi bagi orang yang memahami maknanya, ini adalah perkara yang besar. Berarti ana harus istiqamah di atas agama ini seluruhnya.
Karena kalau mendalami kembali tentang iman kepada malaikat, iman dengan hari akhir apalagi. Iman kepada hari akhir juga ada konsekuensi-konsekuensi, bertaubat, beramal shalih, meninggalkan kemaksiatan, ini adalah bagian dari iman kepada hari akhir.
Beriman kepada malaikat juga demikian, tahu bahwasanya di sana ada malaikat yang menulis, ada malaikat yang mengawasi dan seterusnya.
Maka di sini kalau memang hadīts ini adalah hadīts yang tetap dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, menunjukkan bahwasanya Islām mencakup baik akhlaq kita, demikian pula aqidah kita (الإيمان بالله) ini juga bagian dari Islām, demikian pula amalan-amalan hati, khauf, raja’, al-mahabbah dan seterusnya, semuanya harus kita serahkan kepada Allāh ‘Azza wa Jalla dan ini adalah bagian dari Islām.
Secara ringkas kesimpulan dari bab ini, Tafsīrul Islām, bahwasanya Islām ini mencakup penyerahan diri di dalam masalah ‘aqidah, dan juga di dalam masalah ibadah, dan juga di dalam masalah akhlaq.
Penyerahan diri di dalam masalah aqidah maka kita harus meng-Esa-kan Allāh, mentauhidkan Allāh. Di dalam masalah ibadah maka seseorang tunduk kepada syari’at Allāh, tidak beribadah kecuali dengan syari’at Allāh ‘Azza wa Jalla. Demikian pula di dalam akhlaq, kita menyerahkan diri kepada Allāh, menundukkan akhlaq kita sehingga menjadi akhlaq yang mulia yang diridhai oleh Allāh.
Kalau kita mengamalkan itu semuanya, inilah muslim yang haqiqi, inilah muslim yang sebenarnya, muslim yang memiliki keutamaan yang besar, benar-benar dia mewujudkan makna Islām itu sendiri.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Afwan, نسخة (Nuskhoh = Copy), bukan Nukshoh
Juga harusnya ta’arudh, bukan ta’aruf http://digilib.uinsgd.ac.id/28979/4/4_BAB%20I.pdf
نعم بارك الله فيك