🌍 WAG Dirosah Islamiyah
🎙 Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA حفظه لله تعالى
📗 Kitabul Buyu’ Matan Abu Syuja
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد أن لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. أَمَّا بَعْدُ
Masih bersama Fiqih Muamalah. Yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perniagaan.
Pada sesi sebelumnya kita telah mempelajari atau mulai merenungkan dan menyelami kandungan makna dari pernyataan Al-Imam Abu Suja’ rahimahullahu ta’ala yang mengatakan,
ولا يصح بيع الغرر
Dan jual beli yang mengandung unsur gharar itu tidaklah sah.
Ini hukum asalnya, setiap perniagaan yang mengandung unsur gharar baik pada kadar barang yang diperjualbelikan, bahkan pada akadnya, atau pada nilai transaksinya, waktu serah terimanya, tempat serah terima, selama ada ketidakpastian yang itu berpotensi menimbulkan sengketa perbedaan persepsi, maka itu hukum asalnya menyebabkan transaksi tersebut tidak sah. Karena unsur gharar itu biang terjadinya praktek memakan harta sesama kita dengan cara-cara yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena siapapun yang ternyata salah persepsi, harapan yang dia inginkan tidak sesuai dengan yang dia pahami, apa yang dia dapat tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan, pasti ini akan berpengaruh pada kadar kerelaan. Padahal transaksi itu harus dibangun, dijalankan di atas semangat تراض (suka sama suka sama-sama rela).
Dan telah disampaikan bahwa ada beberapa kondisi gharar (ketidakpastian) itu ditoleransi. Karena apa? karena kadarnya yang terlalu kecil atau tidak bisa dihindarkan atau gharar tersebut (ketidakpastian tersebut) tidak bisa dihindarkan kecuali dengan menimbulkan kerusakan, menimbulkan مشقة kesusahan yang lebih berat, sehingga apabila gharar itu kadarnya kecil, tidak bisa dihindarkan, atau jika dihindarkan akan menimbulkan kerugian yang lebih besar, maka Islam memberikan toleransi dalam kasus-kasus semacam ini.
Karena Allah Subhanahu w Ta’ala telah berfirman dan ini merupakan satu kaidah umum.
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
Allah tidak pernah membebani hambanya yang tidak sesuai kapasitasnya, diluar kemampuannya. [QS Al-Baqarah: 286].
Para ahli Fiqih juga sudah menggariskan satu kaedah yang berbunyi
لا تحريم مع الضرورة و لا واجب مع العجز
Tidak ada hukum haram kalau Anda sedang dalam kondisi darurat. Sebagaimana ولا واجب, tidak ada hukum wajib bila anda tidak kuasa melakukannya.
Menghilangkan unsur gharar bila menimbulkan kerugian yang lebih besar itu berarti Anda dikategorikan tidak mampu meninggalkannya. Sebagaimana unsur gharar betul-betul tidak bisa secara alami tidak bisa dihindari maka itu diluar kapasitas kita.
Maka tidak mungkin islam mengharuskan kita untuk menghindari unsur gharar dalam perniagaan tersebut. Namun sekali lagi adanya ketidakpastian dalam suatu transaksi itu sangat dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi, kebiasan, pengalaman dan berbagai aspek yang lain, bisa jadi suatu transaksi, suatu kondisi dianggap sebagai gharar yang berpengaruh sehingga menyebabkan akad traksaksi itu tidak sah, bila tidak memiliki, tidak didukung oleh teknologi yang memadai.
Contoh sederhana misalnya ketika Anda membeli barang, barang tersebut ternyata di dalam kemasan, bungkusan seperti barang-barang elektronik semisal HP. HP tersebut seringkali dalam kemasan yang yang masih bersegel tidak boleh dibuka kecuali betul-betul Anda telah membelinya, membuka segel berarti membeli, padahal anda belum melihatnya tetapi teknologi industri zaman sekarang telah mencapai tingkatan yang sangat luar biasa.
Sehingga bisa menciptakan, bisa membuat produk yang sama dalam jumlah yang besar dalam jumlah yang banyak sehingga deskripsi barang, sample barang identik dengan barang yang lain. Asalkan tipe barang tersebut sama maka kualitas, mutu, fungsi dan lain sebagainya sama.
Sehingga walaupun barang tersebut dalam segelan, barang tersebut dalam kemasan, tidak Anda lihat tapi Anda mampu melihat dan telah ditunjukan sampelnya maka itu sudah cukup mewakili. Dianggap Anda sudah mengetahui sehingga tidak ada unsur gharar.
Sebagaimana unsur tradisi, faktor kebiasaan atau pengalaman. Orang yang tidak berpengalaman menaksir hasil panen padi, gandum, kurma. Ketika dia ingin membeli kurma yang masih berada di pohon, padi yang masih berada di ladang, di sawah Anda tidak bisa mengetahui berapa kadar gabah yang berada di sawah tersebut.
Tetapi ketika Anda memiliki pengalaman, Anda seorang yang telah berpengalaman maka Anda bisa menaksir berapa kadar gabah yang Anda dapat dari sawah tersebut. Sehingga bagi orang-orang yang berpengalaman boleh menjual padi yang masih berada di sawah. Karena berdasar pengalaman dia telah memiliki ketajaman analisa prediksi tentang kadar padi yang akan dia dapat.
Namun orang yang tidak memiliki pengalaman, dia tidak akan mampu. Sehingga orang yang tidak punya pengalaman tidak boleh membeli atau menjual padi yang masih berada di sawah sedangkan orang yang memliki pengalaman, skill, keahlian, boleh membelinya.
Ini tentu sekali lagi dibutuhkan penilaian yang akurat. Secara garis besar, gharar (ketidakpastian) itu berpengaruh memiliki efek yang sangat mendasar pada hukum jual beli tetapi pada tahap aplikasinya tidak bisa kita hanya berpegangan pada prinsip besar atau teori umum, harus dikaji secara lebih mendalam pada tataran prakteknya, alias perlu dilihat, siapakah yang bertransaksi, memiliki pengalaman atau tidak. Apakah tradisi di masyarakat memberikan toleransi pada kadar gharar tersebut atau tidak. Itu kembali pada kasus per kasus.
Karena itu seorang yang ahli Fiqih tidak boleh hanya berpegangan pada teori umum tetapi dia harus mengakomodir tradisi masyarakat setempat, keahlian orang yang bertransaksi, fasilitas yang digunakan, maka ketika semua telah diakomodir maka in sya Allah hukum yang disimpulkan akan benar.
Namun ketika tradisi, skill, alat bantu yang dimiliki tidak digunakan tidak dipertimbangkan, tidak dimanfaatkan dalam menilai suatu masalah maka bisa dipastikan kesimpulan hukum yang diberikan tidak akan relevan.
Karena itu dahulu Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Seorang ahli fiqih yang menghukumi, berfatwa dalam satu masalah hanya berdasarkan teks book apa yang dia baca apa yang dia pelajari dalam kitab-kitab para ulama tanpa mengakomodir perubahan tradisi, perubahan kondisi dan perubahan pelaku bisa dipastikan salah.
Bahkan menimbulkan kekacauan, sampai-sampai beliau membandingkan kekacauan yang ditimbulkan oleh seorang mufti, oleh seorang ahli fatwa, yang mengabaikan perubahan tradisi, perubahan kondisi suatu masalah, lebih besar kerusakannya dibandingkan seorang ahli kesehatan, seorang dokter misalnya.”
Seorang dokter misalnya yang mengobati masyarakat yang mengabaikan tradisi, kondisi pasien dan hanya mengacu pada data buku yang pernah dia pelajari, referensi yang pernah dia baca, tentu ini akan menimbulkan kekacauan. Namun kekacauan yang ditimbulkan oleh seorang mufti yang jumud (kaku) yang hanya berdasarkan teks book, hanya berdasarkan apa yang dipelajari mengabaikan faktor tradisi perubahan kondisi itu lebih besar karena dampaknya bukan hanya dunia tapi hingga akhirat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
من أُفتي من غير ثبت فاثمه على الذي أفتاه
Siapapun yang berfatwa dalam suatu masalah tanpa dasar dalil, tanpa dasar data yang bisa dipertanggungjawabkan, maka dosanya akan dipikul oleh orang yang berfatwa.
Ini yang bisa kami sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allah Subahnahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa memiliki semangat untuk tafaqquh fii dinillah, meniti jalan menuntut ilmu dengan berbagai media yang kita miliki. Kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•