Home > Bimbingan Islam > Kitāb Kaifa Takuunu Miftaahan Lil Khoir > Halaqoh 04: Kunci Ketiga Ilmu Yang Bermanfaat

Halaqoh 04: Kunci Ketiga Ilmu Yang Bermanfaat

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Ratno Abu Muhammad, Lc حفظه لله تعالى
📗 Kitab كيف تكون مفتاحاً للخير (Bagaimana Engkau Menjadi Kunci Kebaikan)
📝 Syaikh Abdurrazaq Al Badr حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة اما بعد

Sahabat Bimbingan Islām, rahimaniy wa rahimakumullāh, yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Pada kesempatan kali ini (in syā Allāh) kita akan membaca kunci atau langkah ketiga yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrazaq Al Badr hafizhahullāhu ta’āla dalam dalam Kitāb: كيف تكون مفتاحاً للخير (Bagaimana Anda Menjadi Seorang Pembuka Kunci Kebaikan).

Beliau Berkata:

“KUNCI KETIGA: ILMU YANG BERMANFAAT.”

Yang dimaksud ilmu yang bermanfaat di sini adalah ilmu yang bersumber dari Al Qur’ān dan Sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Ilmu adalah pondasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi pintu bagi kebaikan.

Orang yang tidak memiliki ilmu, tidak akan mungkin bisa membedakan antara pintu kebaikan dengan pintu keburukan. Ia tidak akan mampu membedakan antara yang benar dan salah. Ia tidak akan mampu membedakan antara yang sunnah dan bid’ah. Ia tidak akan mampu membedakan jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Ia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kesalahan, hal ini terjadi karena ia tidak memiliki ilmu.

Dulu pernah ada pepatah, “Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu apa yang harus dihindari dapat terhindar darinya?”

Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ

Katakanlah wahai Muhammad, “Ini adalah jalanKu, aku berdakwah kepada Allāh di atas bashirah.”

(QS. Yusuf: 108)

Bashīrah (بَصِيرَةٍ) adalah ilmu yang bermanfaat. Maka barangsiapa yang tidak memiliki ilmu yang bermanfaat maka ia tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia tidak akan mampu membedakan mana yang merupakan jalan petunjuk dan mana yang merupakan jalan kesesatan.

Allāh Ta’āla berfirman :

أَفَمَن يَمۡشِي مُكِبًّا عَلَىٰ وَجۡهِهِۦٓ أَهۡدَىٰٓ أَمَّن يَمۡشِي سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terbimbing (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”

(QS. Al Mulk: 22)

أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.”

(QS. Ar Ra’d : 19)

قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

(QS. Az Zumar: 9)

Barangsiapa yang ingin menjadikan dirinya sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan maka hendaknya dia bersemangat mencari ilmu yang bermanfaat, hendaknya ia sangat perhatian dan teliti dengan ilmu-ilmu tersebut.

Ada sebuah hadīts yang menjelaskan hal ini, hadīts ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa berangkat di pagi hari dalam rangka menuntut ilmu maka Allāh akan bukakan satu pintu surga baginya.”

Sanad hadīts ini lemah. Cukuplah bagi kita hadīts yang shahīh dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagaimana yang disebutkan oleh Abū Darda radhiyallāhu ‘anhu dan selain beliau.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allāh akan mudahkan baginya satu jalan menuju surga.”

Jadi, ilmu adalah pondasi dasar yang sangat penting, sebuah modal besar dalam permasalahan ini. Agar seseorang dapat menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan ia harus sangat perhatian dengan ilmu yang bermanfaat ini.

Ketika seseorang tidak memiliki ilmu, bisa jadi ia akan masuk dalam hal-hal yang merupakan kesesatan, merupakan kebid’ahan, merupakan hawa nafsu dalam keadaan ia merasa telah melakukan kebaikan.

Saya tidak akan panjang lebar dalam hal ini tapi saya akan cukupkan dengan satu kisah yang disebutkan oleh Ad Darini rahimahullah dalam kitāb Sunnan beliau. Sebuah hadīts dengan sanad yang hasan dari Amr bin Salamah Al Hamdani.

Amr bin Salamah Al Hamdani berkata:

Suatu saat sebelum shalat dhuhur kami pernah duduk-duduk di depan pintu Abdullāh bin Mas’ūd. Kami akan berjalan bersama beliau ke masjid ketika beliau ke luar rumah.

Tiba-tiba Abū Musa Al Asy’ari datang dan berkata, “Apakah Abū Abdurrrahman ibnu Mas’ūd, sudah keluar?” Kami jawab, “Belum.” Maka Abū Musa Al Asy’ari pun ikut duduk bersama kami menunggu Ibnu Mas’ūd keluar.

Ketika Ibnu Mas’ūd keluar kami langsung berdiri bersamaan, Abū Musa Al Asy’ari pun langsung berkata, “Wahai Abū Abdurrrahman (Ibnu Mas’ud), di masjid aku melihat sesuatu yang asing tapi Alhamdulillāh menurutku perbuatan mereka adalah suatu kebaikan.”

(Garis bawahi perkataan Abū Musa Al Asy’ari di sini, “Tapi Alhamdulillāh menurutku perbuatan mereka adalah suatu kebaikan.”)

Ibnu Mas’ūd pun bertanya, “Apa yang mereka lakukan?” Abū Musa Al Asy’ari menjawab, “Apabila umur anda panjang, anda akan melihatnya sendiri.” Di sana aku melihat sekelompok orang duduk melingkar di masjid untuk menunggu waktu shalat. Setiap lingkaran ada pemimpinnya. Di depan setiap orang dari mereka ada batu-batu kerikil, pemimpin mereka berkata, “Bertakbirlah 100 kali.” Orang-orang pun bertakbir 100 kali. “Bertahlillah 100 kali.” “Bertasbihlah 100 kali.” orang-orang pun bertasbih 100 kali.

Ibnu Mas’ūd bertanya, “Apa yang engkau katakan kepada mereka?” Abū Musa Al Asy’ari berkata, “Aku tidak mengatakan sepatah kata pun, aku menunggu pendapat atau perintah darimu.”

Ibnu Mas’ūd berkata, “Apakah kamu tidak perintahkan kepada mereka agar mereka menghitung dosa-dosa mereka saja dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan hilang sia-sia di sisi Allāh?”

Lalu beliaupun akhirnya berjalan menuju mereka dan kami pun mengikuti beliau hingga sampai tempat mereka berkumpul. Beliau berdiri dihadapan mereka lalu berkata, “Perbuatan apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab, “Wahai Abū Abdillāh (Ibnu Mas’ud), ini hanya batu kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih kami.”

Ibnu Mas’ūd pun berkata, “Hitung saja dosa-dosa kalian, saya jamin amal baik kalian tidak akan hilang walau pun hanya sedikit.”

“Celaka wahai kalian umat Muhammad, cepat sekali kalian binasa. Para shahabat Nabi masih sangat banyak, pakaian Nabi belum hancur, bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, kalian ini sedang melakukan hal yang lebih baik dari apa yang dicontohkan Nabi atau kalian membuka pintu kesesatan?” Tanya Ibnu Mas’ūd yang tinggi nadanya beliau sedang mengingkari.

Mereka pun menjawab, “Wahai Abū Abdillāh, kami hanya menginginkan kebaikan dari ini semua.”

Ibnu Mas’ūd berkata, “Sungguh alangkah banyaknya orang-orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak akan pernah mendapatkannya.”

Selesai kisah beliau.

Jadi seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan kecuali orang-orang yang mengetahui kebaikan, mengetahui ilmu, mengetahui kebenaran dan mengetahui sunnah.

Bahkan Ibnu Mas’ūd sendiri pernah berkata dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitāb Musnad,

“Sesungguhnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diajarkan oleh Allāh kunci-kunci kebaikan, penutup kebaikan dan sesuatu yang dapat menggabungkan semua kebaikan.”

(HR. Ahmad nomor 4160)

Sehingga apabila anda ingin menjadi orang yang dapat membuka pintu-pintu kebaikan maka belajarlah kuncinya, belajarlah penutupnya, belajarlah penggabungnya, kepada sosok tauladan bagi seluruh insan yang telah menggabungkan seluruh hal ini pada sabdanya, yaitu Nabi kita Muhammad bin Abdillāh. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan atas Beliau.

Demikian kunci ketiga yang disampaikan oleh Syaikh Abdurrazaq Al Badr hafizhahullāhu ta’āla yang pada intinya ketika kita ingin menjadi pembuka pintu kebaikan, penutup pintu keburukan kita harus berilmu, kita harus tahu mana yang merupakan kebaikan dan mana yang merupakan keburukan, mana yang merupakan kesesatan mana yang merupakan hidayah.

Jangan sampai kita salah, tadi contohnya Abū Musa Al Asy’ari memandang perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tadi kebaikan tetapi Ibnu Mas’ūd memandang itu adalah suatu hal yang membinasakan.

Jadi kita harus belajar, mana yang berupa kebaikan mana yang berupa keburukan, mana yang sunnah mana yang merupakan bid’ah, mana yang merupakan jalan hidayah mana yang merupakan jalan kesesatan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita untuk terus belajar sehingga kita bisa menjadi seorang insan pembuka pintu kebaikan penutup pintu keburukan.

Wallāhu Ta’āla A’lam bishawab.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

____

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top