🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamail Muhammadiyah (Sifat dan Akhlak yang dimiliki Nabi Muhammad ﷺ)
📝 Imām Abū Īsā At Tirmidzī
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد
Sahabat BiAS yang semoga selalu dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulilāh, kita telah menyelesaikan 16 (enam belas) hadīts dari Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah. Kali ini kita akan mencoba membahas hadīts-hadīts selanjutnya yaitu hadīts nomor 17 yang menggambarkan tentang warna dan ukuran dari cap kenabian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
• Hadīts ke-17
Al Imām At Tirmidzī rahimahullāh mengatakan:
Al Imām At Tirmidzī meriwayatkan hadīts ini sesuai dengan jalur periwayatan yang beliau miliki hingga shahābat Jābir bin Samurah radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā. Beliau bercerita:
“Aku pernah melihat cap kenabian yang terletak di antara dua pundak Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (kelenjar merah seukuran telur burung merpati).”
√ Hadīts ini merupakan hadīts yang shahīh, yang dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh.
√ Hadīts ini juga dikeluarkan oleh Imām At Tirmidzī di dalam Sunnan beliau dengan nomor 3644.
√ Hadīts ini juga dikeluarkan oleh Imām Muslim dengan nomor 2344.
Pelajaran dari hadīts ini:
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memiliki cap kenabian yang berupa kelenjar (sepotong daging) yang berwarna merah seukuran dengan telur burung merpati.
Hadīts ini tidak bertentangan dengan hadīts Imām Muslim yang menyatakan bahwa warnanya seperti warna kulit Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) karena sebagaimana telah berlalu bahwa warna kulit Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) adalah putih kemerahan.
• Hadīts yang ke-18
Al Imām At Tirmidzī rahimahullāh mengatakan:
Pada hadīts ke-18 ini, Imām At Tirmidzī membawakan hadīts dengan sanad yang beliau miliki hingga Rumaytsah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā. Beliau berkata:
Aku mendengar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, saat itu aku sangat dekat dengan Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam), seandainya aku mau mencium cap kenabian yang berada di antara kedua pundak beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) pasti bisa, ketika itu Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan tentang Sa’ad Ibnu Mu’ādz waktu meninggal, ” ‘Arsyurahman bergoncang dengan kematiannya.”
Hadīts ini merupakan hadīts yang shahīh, dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy dan hadīts ini dikeluarkan oleh Imām Ahmad nomor 26793 dan dishahīhkan oleh Syu’aib Al Arnaut.
Rumaytsah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā, adalah seorang shahābat yang memiliki dua hadīts:
⑴ Hadīts ini (sedang kita bahas).
⑵ Hadīts tentang shalāt dhuha yang beliau riwayatkan dari Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā.
Pada hadīts ini beliau (radhiyallāhu ta’āla ‘anhā) ingin meriwayatkan perkataan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang Sa’ad bin Mu’ādz, pemimpin kaum Anshār dan seorang yang sangat disegani dan dituruti oleh kaumnya.
Beliau (Sa’ad bin Mu’ādz) meninggal dalam usia 37 tahun, pada saat perang Khandaq karena panah yang menancap pada tangan beliau yang menyebabkan darah tidak berhenti mengalir hingga berbentuk genangan.
Dan hadir pada prosesi penguburannya, 70 ribu malāikat dan saat itu pintu langit terbuka untuknya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadīts dari An Nassā’i nomor 2055 yang di shahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh. Hal ini menunjukkan akan keutamaan beliau (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu).
Pada saat meriwayatkan hadīts ini, beliau menyelipkan sebuah kabar tentang cap kenabian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang berada di antara dua pundak Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
Dan ini menguatkan akan keberadaan cap kenabian tersebut.
Itulah yang bisa kita ambil dari hadīts ini.
Kemudian sebelum kita akhiri, perlu ada catatan ketika kita mendengar hadīts-hadīts yang semisal dengan hadīts ini.
” ‘Arsyurahman berguncang ” dan sebagainya, kita imani sebagaimana datangnya, tidak perlu ditanyakan bagaimana bergoncangnya, tidak perlu dipermisalkan dengan sesuatu, karena kita belum pernah melihat ‘Arsyurahman yang mana dia adalah makhluk yang paling besar dari ciptaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Jika kita tidak bisa tahu bagaimana listrik itu bergetar tanpa alat bantu, bagaimana mungkin kita bisa menggambarkan bergetarnya makhluk Allāh yang sangat besar ini.
Kemudian, kita tidak boleh mengingkarinya dengan mengatakan, ” ‘Arsyurahman tidak bergetar, yang bergetar adalah para malāikat pembawanya.”
Atau ucapan-ucapan semisalnya.
Kita pun tidak perlu menyelewengkan maknanya sebagaimana contoh tadi.
√ Cukup imani.
√ Tanpa ditanyakan.
√ Tanpa dimisalkan.
√ Tanpa ditolak.
√ Dan tanpa diselewengkan maknanya.
Semoga bermanfaat.
Wallāhu Ta’āla A’lam Bishawāb