🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc
📗 Kitab Al ‘Aqidah Al-Wāsithiyyah
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulilāh, kita kembali lagi pada kajian kitāb “Al ‘Aqidah Al Wāsithiyah” (العقيدة الواسطية) yang sekarang memasuki halaqah ke-4.
Pada halaqah yang lalu telah disampaikan garis besar bahasan kitāb Al ‘Aqidah Al Wāsithiyah yang dikarang oleh Imām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh.
Pada kesempatan kali ini, kita akan masuk pembahasan apa yang dibahas oleh Imām Ibnu Taimiyyah.
Sahabat BiAS sekalian,
Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah di awal bukunya berujar:
بسم اللّه الرحمن الرحيم
Syaikhul Islām Ibnu dalam pembukaannya memulai dengan:
بسم اللّه الرحمن الرحيم
Sebelum kita melangkah lebih lanjut membaca muqaddimah yang akan disampaikan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh maka pada halaqah kali ini kita sempatkan dahulu untuk membahas arti dari:
بسم اللّه الرحمن الرحيم
_Bismillāhirrahmānirrahīm_
Sebagaimana yang sudah tidak asing lagi bagi kita, sering kita baca atau dengar dengan artian, “Dengan menyebut nama Allāh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Itu adalah tafsiran atau terjemahan secara umum. Kita sedikit mendalami tafsiran ini, kita mulai dari “Bismillāh”.
“Bismillāh” dalam artian “Dengan nama Allāh”, tentu kalau kita mengartikan dengan nama Allāh, maka kalimatnya tidak sempurna, harus ada yang menyempurnakannya.
Misalnya:
Orang mengatakan, “Dengan sendok.”
Kita tidak paham apa yang dia maksud “dengan sendok”. Kita akan paham ketika kalimatnya menjadi, “Saya makan dengan sendok,” atau, “Dengan perantara sendok,” dan sebagainya.
Begitu pula dengan “Bismillāhirrahmānirrahīm”, yang kalau kita artikan secara harfiah (leterlex) maka artinya adalah “Dengan menyebut nama Allāh yang Rahmān dan Rahīm”.
Maksud dari “dengan nama Allāh” disini adalah “dengan nama Allāh saya memulai aktifitas saya”.
Maka ketika Ibnu Taimiyyah meletakkan “Bismillāhirrahmānirrahīm” di dalam muqaddimah kitāb ini, berarti: “Dengan menyebut nama Allāh yang Rahmān dan Rahīm, maka saya memulai kitāb ini.”
Dengan demikian Ibnu Taimiyyah meminta pertolongan Allāh ‘Azza wa Jalla dalam menulis kitāb ini, karena manusia satu detikpun dia tidak bisa lepas dari taufīq dan bantuan Allāh ‘Azza wa Jalla.
Tindakan Ibnu Taimiyyah memulai kitābnya dengan “Bismillāhirrahmānirrahīm” merupakan (mencontoh) dari Al Qur’ānul Karīm yang dimulai dengan “Bismillāhirrahmānirrahīm”.
Begitu pula dengan mencontoh surat-surat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang dikirimkan kepada raja-raja yang dimulai dengan “Bismillāhirrahmānirrahīm”.
Selanjutnya arti lafadz Jalallāh (“Allāh” Subhānahu wa Ta’āla).
Artinya adalah dzat yang memiliki hak (patut) untuk diibadahi. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbās radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Selanjutnya Ar Rahmān Ar Rahīm.
Sering kita dapati yang diartikan “Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.
Namun sejatinya, kalau kita membaca (membuka) buku-buku tafsir para ulamā, maka Ar Rahmān Ar-Rahīm ini, diartikan dengan lebih dalam di dalam buku-buku tersebut.
Ulamā mengartikan Ar Rahmān Ar Rahīm ini sejatinya sama. Dia adalah nama Allāh yang menunjukkan Allāh memiliki sifat Rahmān (kasih sayang).
Namun apa yang membedakannya?
Ar Rahmān dipakai untuk menunjukkan bahwa Allāh memiliki sifat rahmāh, Allāh Maha Penyayang, Allāh memiliki sifat kasih sayang.
Ar Rahīm dipakai di dalam redaksi (kalimat-kalimat) yang menunjukkan perbuatan Allāh atau menunjukkan rahmat Allāh terhadap makhluknya.
Jadi seakan-akan: kalau Ar Rahmān itu secara Dzat, Allāh Maha Pengasih. Sedangkan Ar Rahīm, Allāh melakukan kasih sayang terhadap hamba-hamba-Nya.
Kalau kita lihat di Al Qur’ān ketika menyebutkan bahwa Allāh mengasihi makhluknya maka menggunakan kata Rahīm bukan Rahmān.
Misalnya:
Firman Allāh ‘Azza wa Jalla:
وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًۭا
_”Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang berimān.”_
(QS Al Ahzāb: 43)
⇒ Artinya Allāh mengasihi mereka, Allāh menggunakan “Rahīm” bukan “Rahmān”.
Dalam ayat yang lain, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيم
_”Sesungguhnya Allāh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”_
(QS Al Baqarah: 143 dan QS Al Hajj: 65)
Itulah perbedaan Rahmān dan Rahim.
Yang tentunya kenapa diartikan menjadi Maha Pengasih dan Maha Penyayang, (Wallāhu A’lam) jika diartikan secara mendalam maka akan panjang dan sulit dipahami apalagi bagi kita yang mungkin tidak terlalu paham dengan bahasa Arab.
Maka untuk memudahkan, ulamā-ulamā kita hanya mencukupkan menafsirkan Ar Rahmān Ar Rahīm dengan Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf, in syā Allāh kita lanjutkan dihalaqah berikutnya.
وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته