🎙 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى
📗 Silsilah Al-Ushulu Ats-Tsalasah
سم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke-41 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlu Ats-Tsalātsah wa Adillatuhā (3 Landasan utama dan dalīl-dalīlnya) yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh.
Beliau rahimahullāh mengatakan :
فأعلاها قول : لا إله إلا الله
Yang paling tinggi adalah ucapan Lā ilāha illallāh.
⇒ Lā ilāha illallāh adalah yang paling tinggi dari cabang-cabang keimanan.
Kalau diibaratkan pohon, pohon ini menjulang ke atas memiliki cabang-cabang dan setiap cabang memiliki daun-daun dan cabang yang paling tinggi adalah Lā ilāha illallāh.
Diantara makna cabang yang paling tinggi adalah orang yang beriltizam dengannya dan ikhlās dari dalam hatinya, maka dia akan mendapatkan pahala yang paling besar.
Semuanya berpahala (dari nomor 1 sampai nomor 73), akan tetapi yang paling besar pahalanya adalah orang yang mengucapkan Lā ilāha illallāh.
Sebelumnya beliau rahimahullāh sebutkan :
وأعظم ما أمر الله به التوحيد
“Yang paling besar yang Allāh perintahkan adalah Tauhīd.”
Pahala yang paling besar adalah Tauhīd, sehingga orang yang mengerjakannya, dia akan mendapatkan pahala yang paling besar.
Ketika kelak didatangkan seorang laki-laki (Murtakibul Kabirah) yang dia memiliki banyak dosa lalu didatangkan di depannya 99 sijil (kitāb yang besar yang berisi dosa dan maksiat yang dia lakukan di dunia).
Kemudian orang tersebut ditanya oleh Allāh, apakah kamu memiliki kebaikan atau tidak?
Orang tersebut (dalam keadaan takut karena banyak dosa yang telah dia lakukan dan dia melihat begitu banyak sijil yang berisi catatan dosa dan maksiatnya) mengatakan, “Tidak ya Allāh”.
Kemudian Allāh bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki kebaikan?”
Dia mengatakan, “Tidak ya Allāh”
Kemudian Allāh mengatakan kepadanya :
بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ
“Engkau memiliki kebaikan di sisi kami dan sesungguhnya engkau tidak akan dizhālimi hari ini”
فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu yang bertuliskan dua kalimat syahadat.
فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ
Kemudian Allāh berkata, “Datangkan timbangannya!”
فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ
Laki-laki ini pun binggung karena Allāh mengatakan dia memiliki kebaikan.
⇒ Kemudian satu kartu tadi ditimbang dengan 99 sijillat.
Sebagaimana kita tahu bahwa kartu adalah sesuatu yang tipis dan kecil.
Seandainya kartu tersebut dibandingkan dengan satu kitāb tentunya lebih berat sebuah kitāb.
Lalu bagaimana dengan 99 kitāb?
Disebutkan dalam hadīts, kitāb tersebut luasnya atau panjangnya (sejauh mata memandang) maka tidak heran bila laki-laki ini mengatakan, “Yaa Allāh apa perbandingan antara satu bithāqah ini dengan 99 sijil ini?”
Karena dia melihat kecilnya sebuah kartu kemudian dia bandingkan dengan banyaknya sijil.
فَقَالَ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ
Allāh mengatakan kembali, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhālimi”.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًۭا يَرَهُۥ ۞ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍۢ شَرًّۭا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Al-Zalzalah :7-8)
Engkau akan lihat kebaikan itu sekecil apapun di mata manusia.
قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِي كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ
“Maka diletakkanlah 99 sijillat pada satu daun timbangan kemudian diletakan bithāqah yang bertuliskan أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ – pada daun timbangan yang lain.
Ternyata daun timbangan yang berisi 99 sijillat itu menjadi ringan dan terlempar (طَاشَتِ) ke atas dengan sebab bithāqah yang bertuliskan أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (Bithāqah itu lebih berat dibandingkan 99 sijil)
فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ
Maka tidak ada yang bisa mengimbangi beratnya nama Allāh.
⇒ Ini menunjukkan bahwa qaulu “Lā ilāha illallāh” pahalanya sangat besar.
Dan yang menjadi andalan kita (hasanah kita) yang paling besar adalah tauhīd kita kepada Allāh (bukan puasa, shadaqah, shalāt kita).
⇒ Jadikanlah Tauhīd sebagai amalan andalan kita untuk bertemu dengan Allāh Azza wa Jalla
Tauhīd adalah hasanah yang paling besar, sehingga penting sekali kita menjaga tauhīd.
Jagalah Tauhīd (dalami Tauhīd) dakwahkan Tauhīd ! Karena dakwah menjadi sebab istiqāmahnya seseorang diatas agamanya.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrazaq bahwasanya di antara cara untuk istiqāmah adalah dengan cara dakwah.
Dengan berdakwah antum bisa belajar, bisa menambah keimanan, dan bisa dido’akan oleh orang lain karena orang yang berdakwah akan dido’akan oleh banyak orang. Akan dido’akan dengan rahmat, dengan ampunan, dikuatkan, dan dido’akan diberi kesehatan oleh Allāh.
Dan ini termasuk usaha kita di dalam menjaga tauhīd, maka jangan kita sia-siakan nikmat tauhīd yang sudah Allāh berikan kepada kita.
Maka tidak heran jika beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan :
أعلاها قول لا إله إلا الله
“Yang paling tinggi adalah ucapan Lā ilāha illallāh”
Tentunya apabila diucapkan dengan ikhlās, dengan shidq, dengan mahabbah, dan terpenuhi didalamnya syarat Lā ilāha illallāh.
⇒ Para ulama mengatakan bahwasanya 7 syarat Lā ilāha illallāh ibarat gigi pada sebuah kunci.
Di zaman Wahāb ibnu Munabbih ada sebagian orang yang menyepelekan dosa dan maksiat karena dia merasa sudah mengatakan Lā ilāha illallāh.
Dikatakan kepada Wahāb ibnu Munabbih :
أَلَيْسَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ
“Bukankah ucapan Lā ilāha illallāh adalah pintu Surga?
Saya sudah mengucapkan Lā ilāha illallāh berarti saya telah mempunyai kunci untuk masuk kedalam Surga.
Kemudian Wahāb ibnu Munabbih mengatakan,
بلى ؛ ولكن ما من مفتاح إلا له أسنان ، فإن أتيت بمفتاح له أسنان فُتح لك ، وإلا لم يُفتح لك ” ، يشير بالأسنان إلى شروط «لا إله إلا الله» الواجب التزامها على كل مكلف
“Iya benar, namun setiap kunci itu pasti ada giginya. Jika engkau datang membawa kunci yang memiliki gigi, maka akan terbuka. Namun jika tidak ada giginya, maka tidak akan terbuka“.
Jumlah gigi (syarat) Lā ilāha illallāh , ada 7 :
⑴ Al-Ilmu (mengilmui)
⑵ Ash-Shidqu (membenarkan)
⑶ Al-Mahabbah (mencintai)
⑷ Al-Inqiyadu (menaati)
⑸ Al-Ikhlās
⑹ Al-Yaqin (meyakini)
⑺ Al-Qabulu (menerima)
Mengucapkan Lā ilāha illallāh, harus berdasarkan ilmu, jujur dalam mengucapkannya tidak bohong, senang dan cinta dengan kalimat ini.
Mengucapkan Lā ilāha illallāh dengan gembira dan senang dan apabila mendengar orang lain mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh dia akan senang.
Kemudian dia menginqiyad yaitu melaksanakan konsekuensi dari ucapan Lā ilāha illallāh, dia tinggalkan kesyirikan dia berlepas diri dari orang-orang musyrik dan juga kesyirikan.
Ikhlās di dalam mengucapkannya bukan riyā, yakin terhadap apa yang ada didalamnya berupa kandungannya.
Yakin bahwasanya tidak ada yang disembah kecuali Allāh kemudian dia menerima tidak ada memberontak dan membangkang dari kalimat Lā ilāha illallāh.
Apabila terpenuhi 7 syarat ini maka dia telah mendatangkan kunci Surga lengkap dengan giginya dan akan dibukakan pintu Surga untuknya.
Sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam من قال لا اله الا الله دخل الجنة adalah benar, bahwasanya orang yang mengucapkan Lā ilāha illallāh, akan masuk Surga tetapi dengan kunci yang memiliki 7 gigi ini.
Demikian yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya
Wallāhu Ta’āla A’lam
وبالله التوفيق والهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته