🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
Pada halaqah yang ke-35 ini akan kita bahas secara ringkas beberapa masāil (permasalahan-permasalahan) seputar syarat-syarat shalat.
■ PERTAMA | Seseorang yang melaksanakan shalat namun lupa kalau dia belum bersuci maka bagaimana hukumnya?
Hukumnya adalah wajib untuk mengulang shalat tersebut.
Dan dinukilkan bahwa hal tersebut adalah ijma’ oleh Imām Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Imām Ibnu Baththal, Imām An-Nawawiy dan juga Imām Al-‘Iraqiy.
■ KEDUA | Seseorang yang tidak mendapatkan air ataupun tanah atau dalam keadaan yang tidak bisa ataupun dilarang untuk bersuci (misalnya dalam keadaan terikat, terpenjara atau dalam keadaan yang lainnya), maka apa yang dia lakukan?
Maka dia hendaknya shalat berdasarkan keadaan yang ada dan tidak perlu diulang shalatnya.
Ini adalah madzhab Hanbali dan juga perkataan Imām Ash-hāb dari kalangan Mālikiyyah dan juga salah satu pendapat dari Syāfi’īyyah.
Dan pendapat ini dipilih oleh Imām Bukhāri, Imām Ibnu Hazm, Imām An-Nawawiy, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Ibnu ‘Utsaimin dan juga merupakan fatwa dari Lajnah Dāimah.
Dalil:
Firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
• QS At Taghābun: 16
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan bertaqwalah kalian kepada Allāh sesuai dengan kemampuan (sebisa) kalian.”
• QS Al-Baqarah: 286
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Dan Allāh tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”
■ KETIGA | Bahwasanya kesucian badan, kesucian pakaian dan kesucian tempat adalah syarat sah shalat.
Dan ini adalah menurut jumhur fuqahā.
■ KEEMPAT | Seseorang yang tidak mampu menghilangkan najis atau jika najis tersebut dihilangkan akan mengakibatkan mudharat yang besar, maka apa yang harus dilakukan?
Yang harus dilakukan adalah bahwasanya orang tersebut setelah dia thahārah, maka dia shalat dalam keadaan yang najis, baik yang ada pada pakaiannya maupun pada badannya. Dan tidak perlu mengulangi shalatnya.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah dan juga salah satu riwayat Hanabilah dan pendapat ini yang dipilih oleh Imām Ibnu Qudāmah, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Bāz dan Syaikh ‘Utsaimin.
Dalil:
Qiyas terhadap orang yang sakit yang tidak mampu melaksanakan sebagian rukunnya atau syaratnya maka gugurlah rukunnya atau syaratnya tersebut.
■ KELIMA | Jika pada saat shalat lalu tiba-tiba pakaian atau badannya terkena najis maka apabila dia menghilangkan najis tersebut dan tidak ada bekasnya maka shalatnya adalah sah.
Dalilnya adalah ijma’ dan dinukilkan oleh Imām Nawawiy Asy-Syāfi’ī dan juga oleh Ibnu Hajar rahimahullāh.
■ KEENAM | Seseorang yang shalat dengan sesuatu yang najis (misalnya dengan pakaian yang najis atau sandal yang najis) dikarenakan kejahilan (tidak tahu) atau dikarenakan dia lupa bahwa pakaiannya najis maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulang shalatnya.
Pendapat ini riwayat dari Imām Ahmad dan juga pendapat Imām Syāfi’ī dalam Qaul Qadīmnya (pendapat lama), dan juga dipilih oleh Imām Ibnul Mundzir, Imām An-Nawawiy, Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Bin Bāz dan Syaikh ‘Utsaimin.
Dalil:
Hadits dari Abū Sa’īd Al-Khudriy radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, beliau berkata:
بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بأصحابه إذ خلع نعليه فوضعهما عن يساره فلما رأى القوم ذلك ألقوا نعالهم فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال ما حملكم على إلقاء نعالكم قالوا رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن جبريل عليه السلام أتاني فأخبرني أن فيهما قذرا
Manakala Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam shalat bersama para shahābatnya, tiba-tiba Beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri.
Tatkala shahābat melihatnya merekapun melemparkan sandal-sandal mereka.
Setelah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam selesai melaksanakan shalat, maka Beliaupun bertanya, “Mengapa kalian melemparkan sandal-sandal kalian?”
Merekapun menjawab, “Kami melihat engkau melemparkan sandalmu, yā Rasūlullāh, maka kamipun melemparkan sandal kami.”
⇒ Maksudnya karena mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Tadi Jibrīl datang dan memberi tahu kepadaku bahwa di sandal tersebut ada najis.”
(HR Abū Dāwūd dan Imām Ahmad)
#CATATAN
Bahwasanya pada saat itu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan para shahābat shalat dengan menggunakan sandal.
Dasar pendalilannya:
Bahwasanya jika pakaian yang tidak diketahui najisnya menyebabkan batal maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan mengulang dari awal.
Akan tetapi dalam hadits tersebut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam meneruskan shalatnya.
⇒ Menunjukkan bahwa apabila tidak mengetahuinya maka tidak perlu diulang shalatnya.
■ KETUJUH | Beberapa masalah yang terkait tempat shalat.
Pada saat ditanya, Syaikh ‘Utsaimin ditanya, beliau menjawab bahwa ada 5 tempat yang tidak sah shalat di atasnya karena pada asalnya shalat dimana saja diperbolehkan, berdasarkan sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
جعلت لي الأرض مسجدًا
“Bahwasanya Allāh menjadikan permukaan bumi ataupun tanah sebagai tempat sujud.”
Akan tetapi dikecualikan beberapa tempat berdasarkan hadits-hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bahwasanya apabila shalat di atasnya maka shalatnya tidak sah.
Tempat tersebut adalah:
⑴ Kuburan
Berdasarkan hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imām Tirmidzi:
الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“Bahwasanya permukaan bumi/tanah seluruhnya adalah tempat sujud (tempat shalat) kecuali kuburan dan juga tempat mandi.”
Dan juga sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga Allāh melaknat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat shalat).” (HR Bukhāri dan Muslim)
Dan pada masalah ini diperkecualikan shalat jenazah, diperbolehkan orang apabila luput untuk shalat jenazah di atas kuburan, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
⑵ Tempat pemandian (al-hammām)
Berdasarkan dalil di atas.
Akan tetapi pendapat jumhur ulama bahwasanya shalat di tempat pemandian hukumnya adalah makruh dan dia tetap sah.
Karena tempat mandi tidak lepas dari sesuatu yang najis oleh karena itu menurut jumhur ini adalah tempat yang makruh.
⑶ WC (tempat buang hajat)
Ini adalah tempat yang tidak sah shalat di atasnya karena di sini adalah tempat berkumpulnya najis.
⑷ Kandang unta (a’thānal ibil)
Berdasarkan hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
صلوا في مرابض الغنم ، ولا تصلوافي أعطان الإبل
“Shalatlah kalian di kandang kambing dan janganlah kalian shalat di kandang unta.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Mājah)
Jadi disini adalah larangan dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk shalat di kandang unta.
⑸ Tanah hasil curian, hasil rampasan, hasil penipuan, dan tanah-tanah yang semisalnya yang dimiliki bukan karena hak dimiliki dengan merampas hak orang lain yang disebut sebagai al-ardhul masrūq (tanah hasil curian atau tanah hasil rampasan) maka tidak boleh shalat di atasnya.
Dan para ulama berselisih pendapat; jika shalat di atasnya, apakah shalat tersebut sah atau tidak.
Sebagian mengatakan bahwasanya shalat di atas tanah hasil rampasan curian atau penipuan maka tidak sah shalatnya
Sebagian berpendapat bahwasanya shalatnya tetap sah namun dia dalam keadaan berdosa karena shalat di atas tempat yang terlarang kita shalat di atasnya yaitu tanah hasil curian atau hasil rampasan.
Pendapat yang terakhir ini yang dirajihkan oleh Syaikh ‘Utsaimin.
KEDELAPAN | Terkait waktu shalat.
Apabila shalat sebelum waktu, kemudian dia mengetahuinya maka shalatnya wajib untuk diulangi.
Karena Allāh Ta’āla berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Bahwasanya shalat telah ditetapkan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisā: 103)
Barangsiapa yang shalat sebelum waktunya maka shalatnya tidak sah dan harus diulang.
Ini adalah ijma’ dan dinukil oleh Imām ‘Abdil Barr dan juga Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah.
Dan tidak boleh seseorang mengakhirkan shalat keluar dari waktunya tanpa udzur yang syar’i (yang diperbolehkan oleh syari’at).
■ KESEMBILAN | Apabila mengetahui shalatnya menghadap ke selain kiblat.
Maka ada 2 keadaan;
• ⑴ Jika dia masih di dalam shalatnya maka dia berputar mengarah ke kiblat. Ini adalah pendapat jumhur.
• ⑵ Apabila dia mengetahui setelah selesai dari shalatnya maka shalatnya tidak perlu diulang.
Demikian sebagian masāil yang bisa kita sampaikan.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعونا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____________