🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)
~~~~~~~~
MATAN KITAB
(فصل) والذي ينقض الوضوء ستة أشياء ما خرج من السبيلين والنوم على غير هيئة المتمكن وزوال العقل بسكر أو مرض ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل ومس فرج الآدمي بباطن الكف ومس حلقة دبره على الجديد.
Perkara yang membatalkan wudhu ada 6 (enam):
① Sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur),
② Tidur pada posisi yang tidak kokoh,
③ Hilangnya akal disebabkan karena mabuk atau karena penyakit,
④ Sentuhan kulit seorang lelaki terhadap wanita ajnabi/asing (wanita yang bukan mahramnya) tanpa adanya pembatas,
⑤ Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan,
⑥ Menyentuh lubang duburnya berdasarkan qaul jadīd.
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد.
Para Sahabat Bimbingan Islam yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta’āla, pada halaqah yang ke-19 ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhū’ selanjutnya.
■ PEMBATAL KEEMPAT
قال المصنف:
((ولمس الرجل المرأة الأجنبية من غير حائل))
((Dan sentuhan kulit seorang lelaki terhadap wanita ajnabi/asing (wanita yang bukan mahramnya) tanpa adanya pembatas))
Di dalam madzhab Syāfi’iyyah, termasuk pembatal wudhū’ adalah seorang lelaki dewasa yang menyentuh kulit seorang wanita dewasa tanpa penghalang (semisal kain) yang bukan mahramnya, baik mahram secara nashab maupun mahram karena susuan.
Dan termasuk wanita selain mahram adalah istrinya dan ini adalah termasuk ajnabi.
◆ Dalil pendapat ini, diantaranya firman Allāh Ta’āla:
(وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ…)
… أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“…Atau kalian menyentuh wanita dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah.”
(An-Nisā 43)
Didalam ayat ini, Allāh Ta’āla menggandengkan kalimat :
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Menyentuh wanita”
Setelah kalimat:
أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِط
“Atau apabila salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air”
⇒ Hal ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhū’ sebagaimana buang air membatalkan wudhū’.
Dan kata لامس maknanya secara zhāhir adalah menyentuh antara kulit dengan kulit.
Disana ada permasalahan yang perlu kita ketahui yaitu,
APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHŪ’ ATAU TIDAK?
Para ulama ahli fiqh terbagi menjadi 3 pendapat;
● PENDAPAT ⑴
Menyentuh wanita selain mahram yang baligh & berakal membatalkan wudhū’.
Ini adalah madzhab Syāfi’iyyah sebagaimana yang sudah dijelaskan.
● PENDAPAT ⑵
Menyentuh wanita membatalkan wudhū’ apabila disertai dengan syahwat atau rasa lezat.
Ini adalah pendapat Imam Mālik dan juga salah satu riwayat di dalam madzhab Hanbali.
● PENDAPAT ⑶
Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhū’.
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanīfah dan juga salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali.
Pendapat yang kuat, wallāhu a’lam, adalah pendapat yang ke ⑶, yaitu bahwasanya menyentuh wanita baik dengan adanya pembatas atau tanpa adanya pembatas tidak membatalkan wudhū’, KECUALI jika keluar sesuatu dari kemaluannya.
Dan pendapat ini adalah pendapat sebagian para salaf dan dipilih juga oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, Imam Ash-Shan’āni, Syaikh Bin Bāz, Syaikh Al-Albāni, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan juga merupakan fatwa dari Lajnah Dāimah (Lembaga Fatwa) yang berada di Saudi Arabia.
Diantara dalilnya:
◆ Dalil ⑴
Makna kata “الامس” didalam ayat tersebut tidaklah dimaksud zhāhir secara maknanya dan (tidak) diartikan “menyentuh” antara kulit dengan kulit.
Karena kata “الامس” banyak digunakan di dalam ayat-ayat Al-Qurān dan yang dimaksudkan adalah jima’ atau kinayah dari jima’ (berhubungan antara suami & istri).
Sebagaimana dalam firman Allāh Subhānahu Wa Ta’āla :
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ
“Dan jika kalian mencerai/menthalaq mereka (yaitu para istri) sebelum kalian menyentuh mereka.”
(Al-Baqarah 237)
⇒ Menyentuh disini adalah jima’.
◆ Dalil ⑵
Ibnu ‘Abbās yang dijuluki sebagai “Penterjemah Al-Qurān” mentafsirkan makna “الامس” yang terdapat surat An-Nisā 43 maknanya adalah jima’.
… أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“…Atau kalian menyentuh wanita dan tidak mendapatkan air maka bertayamumlah.”
(An-Nisā 43)
⇒ Menyentuh wanita disini adalah jima’, kata beliau.
◆ Dalil ⑶
Hadits shahīh riwayat Tirmidzi, Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah.
عن عُروة، عن عائشةَ رضي الله عنها قالت: أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ قَبَّل امرأةً من نسائه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاة ولم يتوضَّأ. قال عروة: فقلتُ لها: مَن هي إلَّا أنتِ؟! فضَحِكت
Dari ‘Urwah dari ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, beliau berkata: “Sesungguhnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah mencium salah seorang dari istri-istri Beliau kemudian Beliau keluar untuk melaksanakan shalat dan tidak berwudhū’.”
‘Urwahpun berkata kepada ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā: ‘Siapakah gerangan wanita ini kalau bukan anda?’. Maka ‘Āisyahpun tertawa.”
■ PEMBATAL KELIMA
قال المصنف:
(( و مس فرج الآدمي بباطن الكف))
((Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan))
Ada 2 pendapat dikalangan ulama, yaitu:
• PENDAPAT PERTAMA
Merupakan pendapat Syāfi’iyyah dan juga mayoritas jumhūr para ulama bahwasanya:
“Menyentuh kemaluan baik kemaluan diri sendiri ataupun oranglain, orang dewasa maupun anak kecil, laki-laki maupun wanita dengan syahwat ataupun tanpa syahwat maka itu adalah membatalkan wudhū’.”
◆ Dalil:
Keumuman hadits Busyra tatkala beliau meriwayatkan dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya maka berwudhū’lah.”
(HR Abū Dāwūd, Tirmidzi dan Nasāi)
Dan hadits ini secara tarikh asbābul wurūdnya dia lebih akhir daripada hadits Thalaq bin ‘Ali yang digunakan dalam pendapat kedua.
• PENDAPAT KEDUA
Merupakan pendapat Imām Abū Hanīfah bahwa:
“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhū’.”
◆ Dalil:
Hadits Thalaq bin ‘Ali bahwasanya beliau mengatakan:
قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعنده رجل كأنه بدوي فقال: يا رسول الله! ما ترى في مس الرجل ذكره بعد ان يتوضأ؟ فقال صلى الله عليه وسلم: و هل هو إلا بضعة منك
“Manakala kami datang kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ternyata di sisi Beliau ada seseorang laki-laki sepertinya dia adalah orang Baduwi.
Maka diapun bertanya: ‘Wahai Rasūlullāh, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya setelah dia berwudhū’?’.
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab: ‘Bukankah itu adalah bagian dari anggota tubuhmu?’.”
(HR Abū Dāwūd dan Tirmidzi)
⇒ Maksudnya, disini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak membedakan antara kemaluan dengan anggota tubuh yang lain dan bahwasanya hal itu tidak membatalkan wudhū’.
Kedua pendapat diatas masing-masing adalah pendapat yang diriwayatkan dari para shāhabat radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum.
Dan pendapat yang lebih hati-hati adalah pendapat yang pertama.
Dan sebagian para ulama ada yang menggabungkan antara kedua hadits tersebut, bahwasanya maksudnya adalah:
“Menyentuh yang disertai dengan syahwat adalah sentuhan yang bisa membatalkan wudhū’, namun apabila tidak disertai dengan syahwat maka hal itu tidak membatalkan wudhū’.”
Dan pendapat ini adalah salah satunya diantara pendapat Syaikh ‘Utsaimin rahimahullāh.
■ PEMBATAL KEENAM
قال المصنف:
(( و مس خلقة دبره على الجديد))
((Dan menyentuh lubang duburnya berdasarkan qaul jadīd))
⇒ Qaul jadīd adalah pendapat Imām Syāfi’i yang terbaru ketika beliau ada di Mesir.
Ketahuilah, bahwasanya Imām Syāfi’i memiliki:
※ Qaul qadīm
Pendapat yang lama, sebelum beliau pindah ke Mesir.
※ Qaul jadīd
Pendapat yang baru, setelah beliau pindah ke Mesir.
Qaul jadīd berbeda dengan qaul qadīm, diantara perbedaanya adalah:
Imām Syāfi’i berpendapat menyentuh lubang dubur adalah membatalkan wudhū’.
Dan ini juga pendapat madzhab Hanbali dan dipilih oleh Imām Asy-Syaukāni dan dirajihkan oleh Syaikh Bin Bāz rahimahullāh.
◆ Dalil
Hadits ‘Abdullāh bin ‘Umar saat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أيُّما رجلٍ مسَّ فَرجَه فلْيَتوضَّأ، وأيُّما امرأةٍ مسَّت فرجَها فلْتتوضَّأْ
“Lelaki siapa saja yang menyentuh farji (lubang kemaluan)nya, maka hendaklah dia berwudhū’. Dan perempuan siapa saja yang menyentuh farjinya maka hendaklah dia berwudhū’.”
(HR Ahmad dan Dāruquthni)
Dan makna farji adalah lubang. Dan dubur termasuk didalam makna farji dalam hadits tersebut.
Demikianlah pembatal-pembatal wudhū’ yang disebutkan dalam matan Abū Syujā’.
Dan disana masih ada pembatal-pembatal lainnya yang tidak disebutkan di matan ini.
Dan kita cukupkan dengan nukilan hadits-hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia maka akan terputuslah amal perbuatannya kecuali dari 3 perkara:
⑴ Shadaqah jāriyah (sedekah yang senantiasa mengalir pahalanya kepada dirinya)
⑵ Ilmu yang bermanfaat
⑶ Anak shalih yang senantiasa mendo’akan kedua orangtuanya.”
(HR Muslim No. 1631, dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu)
Para Sahabat sekalian,
Ilmu agama ataupun ilmu syari’at adalah ilmu yang sangat bermanfaat bagi pemiliknya.
Dan akan terus mengalir pahalanya apabila mengajarkannya dan menyebarkannya.
Demikian.
و صلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه وسلم
و آخر دعونا ان الحمد لله رب العلمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته