🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Orang yang tidak mempelajari ilmu musthalahul hadits rata-rata disebabkan karena kebodohan tentang ilmu nahwu. Imam Ibnu Hibban rahimahullah (ini dinukil oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Muqoddimah Fiqh Sunnah yang judulnya tamamul minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah) ketika menjelaskan hadits Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan itu salah satu bentuk berdusta atas nama Rasul ﷺ adalah menyampaikan hadits-hadits dhoif tanpa menjelaskan ke dhoif-annya. Hal itu terkena dengan hadits ini “Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat didalam nereka“. Semoga kita semua terhindar dari hal ini. Jadi Al-Asma’i menyatakan, “Yang paling aku khawatirkan bagi para pencari ilmu bila mereka tidak menguasai ilmu nahwu mereka akan terjerumus kedalam apa yang diancamkan didalam hadits ini (Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat didalam nereka)”. Berkata Sahnun bin Sa’id, “Manusia yang paling cepat memberikan fatwa, terburu-buru dalam memberi fatwa adalah manusia yang paling minim ilmunya“. Kalau ilmunya banyak dia akan takut terhadap fatwa. Ada seseorang yang menguasai salah satu bab dari ilmu (hanya satu bab sedikit) sedangkan ilmu mencapai jutaan bab atau mungkin miliyaran bab, ini hanya satu bab sedikit sekali tetapi seseorang menguasai satu bab dari ilmu dia menyangka seluruh kebenaran ada didalam ilmu yang dikuasainya. Dan ini yang berbahaya, ilmunya belum cukup untuk berfatwa tetapi dia sudah berfatwa maka dia sesat lagi menyesatkan. Oleh karena itulah maka kita melihat para ulama zaman dahulu seperti Imam Malik disodorkan empat puluh pertanyaan oleh khalifah yang berkuasa di zaman itu, dari empat puluh pertanyaan hanya empat yang beliau bisa jawab selebihnya dijawab oleh wallahu’alam. Imam Asy-Sya’bi ditanya tentang suatu masalah agama beliau berkata, “Laa adri (aku tidak tahu) aku tidak memiliki ilmu tentang itu“, murid-muridnya berkata, “Kami malu dengan dirimu engkau disebut oleh orang-orang sebagai orang yang paling berilmu (pada zamannya) ditanya tentang suatu masalah agama namun dijawab dengan jawaban tidak tahu“. Beliau Asy-Sya’bi menjawab, “Kenapa harus malu malaikat saja tidak malu ketika berkata ‘Sub-ḥanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana’ (maha suci engkau ya Allah, kami tidak memiliki ilmu tidak tahu tentang apa yang ditanyakan oleh Allah azza wa jalla), kata Allah kepada malaikat, “ نْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ Coba sebutkan nama-nama benda ini kalau kamu benar” (QS. Al-Baqarah : 31) Makanya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menyatakan, “Mengatakan wallahu’alam atau laa adri atau laa ‘alam (artinya : tidak tahu terhadap sebuah ilmu) itu adalah setengah dari ilmu“. Kenapa demikian ? karena pengakuan bahwa kita tidak tahu secara terang-terangan merupakan aplikasi nyata dari ilmu. Ilmu yang sampai kepada dia (kepada Abdullah bin Mas’ud) kalau tidak tahu jujurlah terus terang tidak tahu itu merupakan aplikasi langsung dari ilmu. Tidak harus merasa malu dengan hal itu, itu adalah orang yang berilmu. Adapun kalau seluruh pertanyaan terjawab maka itu menunjukan kata Sahnun, “orang yang paling minim ilmunya“.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته