🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Adab Sosial Media
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد الذي جعل من يريده بخير فقيها في الدين
Segala puji bagi Allāh yang jika Dia menghendaki kebaikan pada seorang hamba, akan dibuatnya faham dalam agama.
والصلاة والسلام على أشرف الخلق وسيد المرسلين نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
Kemudian shalawat dan salam semoga selalu tercurah dan terlimpahkan kepada makhluk termulia, pemimpin para rasūl, nabi kita nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam begitu juga kepada para keluarga, shahābat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat nanti.
أما بعد
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah menyatakan :
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur umat ku, ada diantara 60-70 tahun dan yang lebih sangat sedikit sekali.” (Hadīts riwayat At Tirmidzī nomor 3550 dan Ibnu Mājah nomor 4236 dan dikatakan oleh Syaikh Albāniy bahwa hadīts tersebut hasan shahīh, sehingga kita bisa memakainya).
Dari hadīts di atas kita tahu, bahwa waktu kita di dunia ini, tidaklah banyak. Waktu kita untuk menggapai Surga tidaklah lama.
Coba kita bandingkan, dengan orang-orang yang sudah menghuni kubur, (orang-orang yang telah lama meninggal).
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam saja, yang hidupnya sekitar 63 tahun, telah berada di alam kubur. Telah meninggal dunia dan telah memasuki alam lain sekitar 14 abad lamanya.
Jika dibandingkan dengan alam kubur, waktu hidup di dunia kita tidaklah lama. Apalagi jika dibandingkan dengan waktu menghadapi pengadilan Allāh atau dibandingkan dengan alam akhirat kita yang tiada batas waktu.
Hingga Allāh sampaikan:
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (QS An Nāzi’āt: 46)
Imām Ibnu Katsīr ketika menjelaskan ayat ini berkata :
إِذَا قَامُوا مِنْ قُبُورِهِمْ إِلَى الْمَحْشَرِ يَسْتَقْصِرُونَ مُدّة الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Jika mereka bangkit dari alam kubur ke padang mahsyar, mereka akan menganggap singkat kehidupan dunia mereka.”
حَتَّى كَأَنَّهَا عِنْدَهُمْ كَانَتْ عَشِيَّةً مِنْ يَوْمٍ أَوْ ضُحى مِنْ يَوْمٍ
“Sampai-sampai mereka menganggap bahwa hidupnya tidak lain seperti hidup sesore atau hidup pada waktu dhuhā saja.”
Sehingga sangat pantas sekali untuk kita menghargai waktu kita. Kita harus berdo’a agar Allāh menjadikan waktu kita ini bārakah, agar setelah kematian tiba, kita tetap hidup nyaman di alam kubur, agar kita tetap hidup nyaman saat matahari mendekat ke kepala hingga satu mil atau satu jengkal.
Oleh karena itu sebagian penyair mengatakan:
الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك
“Waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak pandai menggunakannya, ia akan melukaimu.”
Dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga pernah bersabda :
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ
“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ditanya:
Tentang umurnya, untuk apa dia habiskan ?
Tentang ilmunya, untuk apa yang telah ia amalkan ?
Tentang hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dia belanjakan ?
Dan tentang tubuhnya, apa yang telah ia hasilkan hingga tubuh itu usang ?”
Oleh karena itu, dalam: صيد الخاطر (Shaidul Khāthir), Ibnul Jauzi pernah mengatakan yang maknanya :
“Harusnya seorang itu berusaha memahami harga waktunya, sehingga ia tidak akan menyia-nyiakannya kepada selain ketaatan. Dan dengan mengetahui harga waktu, ia juga akan bisa mengerjakan sebuah amalan yang paling utama terlebih dahulu, kemudian yang dibawahnya, kemudian yang dibawahnya.”
Salah seorang penyair berkata:
والوقت أنفس من عنيت بحفظه, وأراه أسهل ما عليك يضيع
“Waktu adalah harta paling berharga yang pantas untuk engkau jaga, tapi aku melihat waktu itu adalah hal yang paling mudah untuk disia-siakan.”
⇒ Oleh karena itu dahulu para ulamā sangat bersemangat dalam menjaga waktu.
Muhammad bin Abdul Baqi Al Bazzar berkata:
“Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku untuk suatu hal yang tidak bermanfaat atau hanya sekedar bermain.”
Bahkan di antara ulamā, tetap masih memanfaatkan waktunya walaupun ia makan atau saat ia dikamar mandi dengan memerintahkan anaknya atau muridnya untuk membaca dan ia mendengarkan.
Ia mengatakan :
“Bacalah kitāb ini dan angkat suaramu.”
Di antara para ulamā, ada yang dalam sehari memiliki 12 pelajaran, (seperti) Imām An Nawawi. Ada yang 13 pelajaran (seperti) Imām Asy Syaukani. Bahkan ada yang dalam sehari memiliki pelajaran 24 pelajaran, bahkan ada yang 50 pelajaran.
Itulah para ulama Islām, yang mengerti hakikat waktu.
Bahkan ada yang mengatakan:
“Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan waktu.” sebagaimana dikatakan Abul Wafā’ Ibnu ‘Aqīl.
√ Mungkin kita belum bisa seperti mereka.
√ Mungkin karena dosa kita yang masih terlalu banyak.
√ Mungkin karena kecintaan kita kepada dunia yang masih tinggi.
Namun setidaknya, mari kita berusaha agar waktu kita bisa optimal dalam mengumpulkan “kekayaan” yang akan kita nikmati setelah kematian kita.
Semoga Allāh memudahkan kita untuk menjadikan waktu kita bārakah, mengarah kepada perkara yang baik, bermanfaat dan mengarah kepada ketaatan kepada sang khaliq.
Semoga bermanfaat.
Wallāhu Ta’āla A’lam bish Shawwāb.
Wa shallallāhu ‘alā nabiyyina Muhammad.