Halaqah 102 | Ahlus Sunnah Tidak Mengkafirkan Ahlu Kiblat Dikarenakan Melakukan Dosa Besar Selama Pelaku Dosa Besar Tidak Menganggapnya Halal Bag 02
Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-102 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Apa dalil bahwasanya orang yang melakukan dosa besar ini tidak keluar dari agama Islam? Di antaranya adalah Firman Allāh ﷻ ketika menyebutkan tentang qishāṣ bagi orang yang membunuh tanpa hak:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
(QS. Al-Baqarah: 178)
‘Barangsiapa yang dimaafkan dari saudaranya..’ kalau seseorang membunuh orang lain, sebenarnya dia harus dibunuh, tapi ada ahli warisnya yang memaafkan, ‘maka hendaklah yang membunuh tadi mengikuti dengan kebaikan.’ Allāh ﷻ masih menamakan ini sebagai dua saudara
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ
Barangsiapa yang dimaafkan dari saudaranya, berarti meskipun membunuh masih dinamakan saudara, yaitu saudara seislam, menunjukkan bahwasanya pelaku dosa besar ini tidak keluar dari agama Islam.
Dan di antara dalilnya adalah adanya syafaat di hari kiamat. Orang yang melakukan dosa besar, ada di antara mereka yang setelah dia disiksa di dalam neraka, ada syafaat seorang malaikat, atau seorang nabi, atau seorang yang beriman, sehingga dia pun keluar dari neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya Allāh ﷻ. Bukankah ini menunjukkan bahwasanya mereka tidak keluar dari agama Islam? Seandainya mereka ini keluar dari agama Islam, tentunya sama dengan orang-orang munafik, orang-orang musyrikin yang mereka kekal selamanya di dalam neraka.
Ini di antara dalil ahlussunnah yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan dosa besar di antara orang-orang Islam maka tidak keluar dari agama Islam, tapi dia berkurang keimanannya. Jelas, berkurang keimanan. Di sana ada kelompok yang mengatakan pelaku dosa besar ini keluar dari agama Islam. Ini adalah kelompok Khawārij dan juga Mu’tazilah. Kalau melakukan dosa besar, maka dia sudah keluar dari agama Islam.
Orang-orang Khawārij mengatakan itu sebagai orang yang kafir. Orang-orang Mu’tazilah mengatakan keluar dari agama Islam, dan dia berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan. Dua kedudukan yang dimaksud adalah Islam dan juga kekufuran. Statusnya adalah antara Islam dan kekufuran. Fi manzila bainah al-mandzilata’in, dia berada di satu kedudukan di antara dua kedudukan. Ini keyakinan orang-orang Khawārij. Di antara pokok akidah mereka adalah mengkafirkan pelaku dosa besar.
Dan di sana ada kelompok yang berkebalikan dari orang-orang Khawārij, mengatakan bahwasanya pelaku dosa besar ini sempurna keimanannya, tidak terpengaruh dengan dosa yang dilakukan, meskipun dia melakukan dosa besar sebanyak apa pun maka dosa tadi tidak mempengaruhi keimanannya karena mereka menganggap bahwasanya ada yang mengatakan iman itu hanya lisan saja. Kalau antum sudah ikrar Asyhadu alla ilaha illallah, asyhadu anna Muḥammadan Rasūlullāh, antum sudah sempurna keimanannya. Kemudian setelah itu seseorang mau melakukan dosa apa saja tidak berpengaruh.
Ada yang mengatakan iman itu hanya ma’rifah saja, kita mengenal Allāh ﷻ, itulah yang dinamakan dengan iman. Adapun apa yang dilakukan oleh amalan, maka ini bukan termasuk iman, sehingga anggota badan dia melakukan apa saja tidak masalah. Yang penting dalam hatinya seseorang mengenal Allāh ﷻ, percaya kepada Allāh ﷻ.
Ini dua kelompok yang sangat ekstrem. Satunya, dia mengeluarkan seseorang yang melakukan dosa besar dari agama Islam. Satunya, mengatakan imannya sempurna.
Adapun ahlussunnah, maka berada di pertengahan. Mereka mengatakan dia tidak keluar dari agama Islam, tapi berkurang keimanannya. Beliau mengatakan,
وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ
Selama dia tidak menghalalkannya. Artinya, kalau dia sudah menghalalkan sesuatu yang diharamkan, maka dia keluar dari agama Islam.
Contoh, misalnya orang yang melakukan riba. Ini sebenarnya dia tidak keluar dari agama Islam, tapi ketika dia mengatakan riba itu adalah halal, berarti di sini sudah menghalalkan. Ini keluar dari agama Islam. Kalau seseorang hanya melakukan riba, dan dia menyadari ini adalah haram, mengatakan bagaimana lagi, ana sedang butuh dan seterusnya, dia tidak menghalalkan yang diharamkan oleh Allāh ﷻ, dia menyadari itu adalah haram, inilah yang tidak keluar dari agama Islam.
Adapun yang mengatakan dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allāh ﷻ, maka inilah yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Yang berhak untuk menghalalkan, yang berhak untuk mengharamkan hanya Allāh ﷻ semata.
Adapun seseorang mengetahui itu adalah perkara yang diharamkan secara dhahir dalam agama Islam — zina haram, riba haram — kemudian dia memiliki akidah yang lain, keyakinan yang lain, bahwasanya itu adalah perkara yang dihalalkan oleh Allāh ﷻ, mengetahui itu diharamkan, kemudian dia sendiri menghalalkan, maka ini keluar dari agama Islam yang demikian.
Apakah ucapan beliau ini lurus? Mā lam yastahillahu, selama dia tidak menghalalkan, ṣaḥīḥ. Selama dia tidak menghalalkan perkara tersebut, maka dia masih dianggap sebagai seorang Muslim. Tapi kalau sudah menghalalkan, maka inilah yang menjadikan hukumnya berbeda.
Ini disampaikan oleh para ulama bahwa orang yang menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan secara dhahir di dalam agama Islam seperti orang yang membolehkan berzina, atau membolehkan khamr, atau menghalalkan riba, maka inilah yang menjadi sebab keluarnya seseorang dari agama Islam.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته