Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-100 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Beliau mengatakan
وَلَا نُجَادِلُ فِي القُرْآنِ
dan kita tidak berdebat di dalam masalah Al-Qur’an.
Artinya, rumus kita adalah istislam. Kita menerima dan beriman, termasuk di dalam masalah Al-Qur’an, di dalam masalah nama dan juga sifat Allāh ﷻ.
لَا نُجَادِلُ فِي الْقُرْآنِ
Dan keyakinan tentang masalah Al-Qur’an, sebagiannya telah disebutkan oleh beliau, bahwa ia adalah kalāmullāh, bukan makhluk, dan tidak sama dengan kalāmul basyar. Maka, kita tidak berdebat di dalam masalah Al-Qur’an.
وَنَعْلَمُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan kami mengimani bahwa Al-Qur’an ini adalah ucapan Rabbul-‘Ālamīn, sebagaimana telah berlalu dalil-dalilnya:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
(QS. At-Taubah: 6).
أَلَا رَجُلٌ يَحْمِلُنِي إِلَى قَوْمِهِ، فَإِنَّ قُرَيْشًا مَنَعُونِي أَنْ أُبَلِّغَ كَلَامَ رَبِّي
Ini adalah kalam Rabbul ‘alamin, kita tidak boleh mendebatnya, kita berserah diri bahwa Allāh ﷻ mengatakan demikian, dan Nabi ﷺ mengatakan demikian. Itu adalah kalāmullāh. Kenapa kita berdebat sebagaimana ahlul kalām yang berdebat tentang masalah Al-Qur’an?
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Malaikat Jibrīl, rūḥul amīn, telah turun dengannya sebagaimana firman Allāh ﷻ dalam Al-Qur’an.
Kita tidak boleh mendebat apa yang sudah disampaikan oleh Allāh ﷻ kepada kita. Didengar oleh Malaikat Jibril dari Allāh ﷻ, kemudian beliau bawa turun dan menyampaikannya kepada Nabi Muhammad ﷺ.
فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ المُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا ﷺ
Kemudian Jibril Alaihissalām mengajarkan itu kepada Sayyid al-Mursalin, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ
(QS. Asy-Syu’ara’, 26:193-194)
Diturunkan oleh ruhul amīn (Jibril) ke dalam hatimu (wahai Muhammad), supaya engkau menjadi orang-orang yang mengingatkan, menjadi salah seorang rasul
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
“Dengan bahasa Arab yang jelas.”
كَلَامُ اللهِ تَعَالَىٰ لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ المَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ
Di antara keyakinan Ahlus-Sunnah tentang masalah kalāmullāh, bahwa kalāmullāh ini tidak sama dengan ucapan makhluk.
لا يُسَاوِي شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ مَخْلُوقٍ
Di antara keyakinan kita dalam masalah Al-Qur’ān adalah bahwa ia adalah kalāmullāh, dan ia adalah sifat Allāh ﷻ, serta bukan makhluk. Keyakinan kita adalah bahwa Allāh ﷻ memiliki sifat kalam, sebagaimana dalam keyakinan-keyakinan lainnya, yaitu Allāh ﷻ memiliki sifat kalam yang tidak sama dengan sifat kalam yang dimiliki oleh makhluk
اللَّهُ يَتَكَلَّمُ بِكَلَامٍ يَلِيقُ بِجَلَالِهِ لَا يُشْبِهُ كَلَامَ الْمَخْلُوقِينَ
tidak sama dengan ucapan makhluk.
وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ
Dan kita, Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, tidak mengatakan bahwa Al-Qur’ān itu adalah makhluk, sebagaimana ucapan Mu’tazilah. Pembahasan ini telah berlalu, bersama dalil-dalil mereka, serta bantahan Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, dan dalil-dalil Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah bahwa Al-Qur’ān bukanlah makhluk. Ini telah dibawakan kembali oleh Al-Imām Abu Ja’far ath-Thahawi di sini untuk menekankan kembali tentang masalah ini.
وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
Dan kita tidak menyelisihi jamaah kaum Muslimin. Maksudnya, tidak boleh kita menyelisihi akidah orang-orang Islam. Siapa yang dimaksud dengan Muslimīn di sini tentunya adalah jamaah kaum Muslimin yang imam mereka adalah Rasulullāh ﷺ, yang teladan mereka adalah para sahabat raḍiyallāhu taʿālā ʿanhum.
Karena inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi ﷺ ketika beliau mengabarkan tentang perpecahan umat, dan mengabarkan bahwa semuanya masuk neraka kecuali satu:
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Dan yang satu itu adalah Al-Jama’ah.”
Ini dijelaskan dalam hadits lain ketika beliau mengabarkan tentang satu golongan tersebut, beliau mengatakan:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesuatu yang aku berada di atasnya dan juga para sahabatku.”
Berarti jamaah itu dijelaskan oleh Nabi ﷺ dan ditafsirkan sebagai orang-orang yang berada di atas jalan Nabi ﷺ dan juga para sahabatnya. Inilah jama’atul muslimīn.
Jika kita berpegang teguh dengan sunnah Nabi ﷺ dan mengikuti para sahabat raḍiyallāhu taʿālā ʿanhum dalam kehidupan agama kita, maka kita masuk dalam jamaah ini. Tapi kalau kita menyelisihi Nabi ﷺ dan menyelisihi petunjuk para sahabat, menyelisihi manhaj para sahabat, maka seseorang keluar dari jamaah ini.
Maka, Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah lā nukhalif jama’atul muslimīn, kita tidak menyelisihi jama’atul muslimīn. Kita sama-sama dengan jama’atul muslimīn dengan makna jamaah yang menjadikan Nabi ﷺ sebagai imam mereka, dan menjadikan para sahabat raḍiyallāhu taʿālā ʿanhum sebagai teladan mereka, termasuk di antaranya dalam masalah Al-Qur’ān yang baru saja disebutkan.
Kita tidak boleh menyelisihi jama’atul muslimīn dalam masalah nama dan juga sifat Allāh ﷻ. Kita tidak boleh menyelisihi jama’atul muslimīn, dan dalam seluruh perkara, baik dalam masalah akidah maupun yang lainnya, kita mengikuti jama’atul muslimīn.
Makna jama’atul muslimīn adalah jamaahnya Nabi ﷺ, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Inilah hakikat dari Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, karena mereka adalah ahli dalam sunnah, paling mengilmui, dan paling mengikuti sunnah Nabi ﷺ.
Mereka adalah al-jama’ah, karena mereka adalah ahlul ijtimā’, yaitu mereka ahli dalam masalah persatuan, menjaga persatuan dengan cara tetap berpegang teguh terhadap sunnah Nabi ﷺ dan mengikuti jalan para sahabat raḍiyallāhu taʿālā ʿanhum.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته