Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-99 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Beliau mengatakan
وَلَا نَخُوضُ فِي اللهِ
dan kita, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak melakukan al-khaudh, kurang lebih maknanya berbicara tanpa dalil, tentang diri Allāh ﷻ.
Adapun kalau dengan dalil seseorang berbicara tentang diri Allāh dan juga nama serta sifat-sifat-Nya berdasarkan dalil, maka ini tidak dinamakan demikian. Tetapi orang yang berbicara tentang Allāh tanpa dalil, hanya dengan akalnya, kemudian ketika datang nama dan juga sifat Allāh, dia mentakwilnya, lalu memalingkan dari dzāhirnya, serta mendatangkan makna-makna yang tidak diinginkan oleh Allāh ﷻ, maka inilah yang bukan merupakan jalan kita, Ahlussunnah wal Jama’ah.
وَلَا نَخُوضُ فِي اللهِ، وَلَا نُمَارِي فِي الدِّينِ
Dan kita tidak berdebat dalam agama.
Ini bukan cara kita, bukan cara Ahlussunnah wal Jama’ah. Jalan hidup kita, jalan agama kita adalah, jika itu sudah tetap dari Allāh dan juga Rasul-Nya ﷺ, maka kita سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا, kita beriman, kita amalkan, kita istiqāmah sampai kita meninggal dunia. Kita berdakwah mengajak manusia untuk beriman kepada Allāh dan juga Rasul-Nya ﷺ. Jika seseorang beriman dengan apa yang kita sampaikan, Alhamdulillāh, itu adalah kebaikan untuk dirinya sendiri.
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا
(QS. Al-Jatsiyah: 15)
Barangsiapa yang beramal shalih, itu adalah untuk dirinya, dan barangsiapa yang berbuat jelek, itu adalah atas dirinya sendiri, yang rugi adalah dirinya sendiri.
Dan bukan jalan Ahlussunnah menjadikan perdebatan ini sebagai jalan utama di dalam dakwah. Allāh ﷻ membolehkan kita untuk berdebat
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
(Al-‘Ankabut ayat 46)
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
(An-Naḥl ayat 125)
Itu adalah cara untuk berdebat, tapi cara dakwah dengan cara berdebat ini ada tempatnya, memang itu disyariatkan, satu cara dalam berdakwah tetapi ada syarat-syarat yang harus kita perhatikan supaya perdebatan tersebut menjadi perdebatan yang menghasilkan dan membuahkan, bukan memudharati.
Di antaranya, orang yang mau berdebat haruslah orang yang memiliki ilmu. Jangan setengah-setengah ilmunya atau bahkan dangkal ilmunya.
Yang kedua, harus cepat dalam mendatangkan dalil, karena perdebatan membutuhkan kecepatan. Ini bukan waktu yang memungkinkan mereka untuk bersantai mencari jawaban. Perdebatan membutuhkan kecepatan dalam memberikan jawaban, dan tidak semua orang yang berilmu diberi kemampuan demikian. Kita mengakui keilmuan seseorang, tapi kita juga menyadari bahwasanya beliau bukan orang yang cepat untuk bisa membantah. Beliau mungkin bisa membantah sehari dua hari, bisa mencari dan memikirkan bantahannya, bisa, tapi yang namanya perdebatan ini membutuhkan kecepatan.
Kemudian juga di antara syaratnya adalah seseorang bisa menjaga emosinya, karena namanya berdebat, apalagi dengan ahlul bid’ah, mereka menghalalkan apa saja, bagaimana supaya konsentrasi lawan ini pecah dengan diejek, dengan direndahkan, dan seterusnya. Kalau kita tidak bisa menjaga emosi kita, maka kita akan kalah sebelum kita berdebat. Kita sudah marah duluan sebelum kita mendatangkan dalil, dan ini tidak ada manfaatnya. Karena dia tidak berakal lagi kalau orang sudah marah, tidak berakal lagi, dia tidak bisa mendatangkan dalil pada tempatnya, apa saja diomongkan kalau orang sudah marah. Tentunya di sini tidak ada maslahat yang diharapkan kalau sudah terjadi yang demikian.
Kemudian di antara syarat orang yang diajak berdebat atau orang yang menjadi lawan bicara ini adalah orang yang memang menginginkan kebenaran, menginginkan kebaikan. Dan kalau kita melihat para ulama dahulu, jarang sekali mereka berdebat. Tidaklah mereka berdebat kecuali dalam keadaan yang sangat-sangat mepet. Bukan cara para ulama kita, mereka banyak berdebat.
Yang sering berdebat itu justru adalah orang-orang ahlul kalam, Mu’tazilah. Debat dengan Asyā’irah itu biasa. Sering mereka mengadakan majelis-majelis perdebatan, itu memang majelis-majelis orang-orang yang ragu tentang akidahnya. Adapun kita, Ahlussunnah, apa yang kita ragukan di dalam akidah kita? Kita bukan orang yang, kalau berdebat dengan orang lain, kemudian mereka kelihatan lebih menampakkan dalilnya, kemudian kita mengikuti mereka. Tidak demikian.
Kita adalah orang yang yakin terhadap akidah kita. Seandainya mereka tampak lebih kuat dalilnya, itu bukan karena kita salah dalam beraqidah, kita saja yang lemah dalam keilmuan. Para ulama mereka tahu itu adalah syubhat yang sangat lemah, itu adalah syubhat yang batil. Mereka bisa menyampaikan dan menjelaskan bahwa syubhat itu adalah syubhat yang batil, bukan karena itu adalah dalil yang kuat, tidak, itu karena lemahnya kita dalam keilmuan. Tapi kita harus yakin bahwasanya apa yang kita yakini sekarang itu adalah tidak ada keraguan di dalamnya.
Karena itu hati-hati dalam mendengar ucapan-ucapan dan juga muhāḍarah ahlul bid’ah. Jangan sekali-kali kita mengatakan, “Aku sudah belajar akidah, sudah mulāzamah, sudah kuat, tidak akan terpengaruh,” dan seterusnya. Kita lemah, hati kita lemah. Dan namanya syubhat ini meskipun dia batil, tapi dia menyambar-nyambar, menyambar hati manusia. Kita sibukkan diri kita dengan yang haq, Al-Qur’an dan sunnah, dengan pemahaman salaf.
Seandainya kita gunakan umur kita untuk itu, tidak akan habis, bahkan umur kita kurang untuk mempelajari al-haq. Kenapa kita menyibukkan diri untuk mendengar muhāḍarah-muhāḍarah ahlul bid’ah, kecuali kalau memang kita adalah orang yang diberikan rezeki oleh Allāh ﷻ ilmu yang kuat dan ingin mendakwahi, menerangkan tentang kebatilan mereka, maka ini perkaranya lain. Sehingga para ulama kita ada di antara mereka yang membantah Jahmiyah, ada yang melakukan bantahan terhadap Asyā’irah, melakukan bantahan terhadap orang-orang Nasrani, dan mereka melihat buku-buku mereka, karena memang mereka terpenuhi syarat untuk itu, dan ada orangnya untuk melakukan bantahan tersebut. Namun ini tidak untuk semua orang.
Sehingga kita kembali kepada ucapan beliau,
وَلَا نُمَارِي فِي الدِّينِ
kita tidak berdebat di dalam agama.
Rumus kita dalam beragama adalah Al-Iman wal-Istislām,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, apabila Allāh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
(QS. Al-Aḥzāb, 33:36)
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته