Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-97 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Beliau mengatakan
وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا
(dengan mengkashrah ت) Dan kami menamakan orang-orang yang satu kiblat dengan kami, أَهْلَ قِبْلَتِنَا yaitu أَصْحَاب قِبْلَتِنَا yaitu sama kiblatnya dengan kita, sama-sama menghadap ke Baitullah setelah Allāh ﷻ sebelumnya menjadikan kiblat yang pertama adalah Baitul Maqdis. Kemudian setelah itu Allāh ﷻ menjadikan atau mengubah kiblat ke Baitullah.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةًۭ تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
(QS. Al-Baqarah, 2:144)
Dahulu Nabi ﷺ ketika berada di Makkah, menghadap kiblatnya ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau menjadikan Baitullah itu antara beliau dengan Baitul Maqdis, sehingga beliau bisa menghadap ke Baitullah sekaligus ke Baitul Maqdis.
Kemudian ketika berhijrah ke kota Madinah, tidak bisa lagi beliau lakukan yang demikian. Beliau hanya bisa menghadap ke arah Baitul Maqdis saja karena Baitul Maqdis berada di sebelah utara Madinah, sedangkan Baitullah berada di sebelah selatan. Akhirnya Beliau ﷺ sering melihat kearah Baitullah, berharap seandainya kiblat ini berpindah ke Baitullah. Kemudian Allāh ﷻ berfirman:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةًۭ تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ
Maka sekarang arahkan wajahmu ke arah Masjidil Haram
Kaum Muslimin di dalam shalatnya diharuskan untuk menghadap ke arah kiblat, ini adalah termasuk شُرُوطُ الصَّلَاةِ, kalau sampai seseorang dalam shalatnya tidak menghadap ke arah kiblat, maka tidak sah shalatnya, harus menghadap ke arah kiblat karena ini termasuk syarat sah shalat. Sehingga أَهْلَ قِبْلَتِنَا maksudnya orang-orang yang sama kiblatnya dengan kita, kita namakan mereka
مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ
kita namakan mereka sebagai muslimin, karena Allāh ﷻ mengatakan
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَـٰذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِۚ
(QS. Al-Ḥajj, 22:78)
Dialah yang telah menamakan kalian sebagai Muslimin.
Dari dulu Allāh ﷻ menamakan orang-orang yang mentauhidkan Allāh ﷻ dan menyembah Allāh ﷻ saja adalah muslimin, dan di dalam Al-Qur’ān juga demikian, kita dinamakan sebagai Muslimin. Umatnya Nabi Mūsa, Nabi Nūḥ, Nabi ‘Īsā yang mengikuti Nabi Sulaimān, mereka semuanya adalah Muslimin dari dulu sampai sekarang, maka kita menamakan mereka sebagai Muslimin.
Secara umum setiap orang yang beriman dan mengikuti dakwah para rasul adalah Muslimin. Nah, sekarang yang mengikuti Rasul yang terakhir dinamakan juga Muslimin. Semua orang yang sekarang menemui risalah Nabi Muhammad ﷺ dan mendengar tentang kedatangan beliau, diharuskan untuk masuk ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Kita menamakan mereka sebagai Muslimin.
Mukminin, karena Allāh ﷻ juga banyak di dalam Al-Qur’ān menamakan mereka sebagai “الَّذِينَ آمَنُوا” (orang-orang yang beriman). Mereka memiliki aslul īmān, Mukminin, karena mereka memiliki ashlul īmān, mereka memiliki pondasi keimanan. Kita semuanya sama, kita beriman kepada Allāh ﷻ, beriman kepada malaikat, kepada kitab, kepada rasul, kepada hari akhir, dan beriman kepada takdir. Maka kita adalah Mukminūn, bukan berarti kita sempurna keimanannya, tetapi kita sama-sama memiliki pondasi keimanan. Itu maksudnya, karena orang-orang yang beriman ini bertingkat-tingkat. Ada di antara mereka yang sempurna keimanan dan ada di antara mereka yang kurang keimanan. Maka mereka dinamakan Mukminūn maksudnya adalah karena mereka sama-sama memiliki pondasi keimanan, beriman dengan rukun iman yang enam.
وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ
Kita menamakan mereka adalah Muslimin, mereka adalah orang-orang yang beriman. Allāh ﷻ berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
(QS. Al-Ḥujurāt: 10)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah saudara. Yaitu saudara diatas keimanan. Dan Nabi ﷺ bersabda:
المسلم أخو المسلم
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain.
Jadi, terkadang disebut sebagai Muslimin dan terkadang disebut sebagai Mukminūn. Mukminūn di sini dilihat dari pondasi keimanan mereka, sama-sama mereka beriman dengan pondasi keimanan. Jangan kita mendatangkan nama-nama yang baru. Kita namakan mereka sebagaimana Allāh ﷻ memberikan nama, dan kita anggap mereka adalah Muslimūn, dan ini adalah asalnya,
مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ
selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ, yaitu mengakui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ? Al-Qur’an dan juga hadits
عَلَى إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Aku diberikan Al-Qur’an dan yang semisalnya, yaitu hadits.
Allāh ﷻ berfirman:
وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ
(“mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah”). Al-Ḥikmah di sini adalah hadits.
Selama mereka masih mengakui apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ, maka kita katakan mereka adalah Muslimin, Mukminin, berarti mereka Muslim, berarti mereka adalah orang yang beriman karena mereka mengakui apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Kalau mereka tidak mengakui, misalnya mengingkari Al-Qur’an, maka mereka tidak lagi dinamakan sebagai Muslim, karena Muslim itu menyerahkan diri. Mukmin itu jika dia beriman; jika dia mengingkari, ya bukan Muslim, bukan Mukmin.
Atau jika seseorang mengingkari hadits Nabi ﷺ, meskipun hanya mengingkari satu huruf dalam Al-Qur’an bisa mengeluarkan seseorang dari agama islam, satu huruf yang semua ulama sepakat bahwa itu adalah bagian dari Al-Qur’an. Barangsiapa yang mengingkari hadits Nabi ﷺ yang dia tahu adalah hadits sahih tanpa ada keraguan di dalamnya, dan dia mengingkari itu bukan ucapan Nabi ﷺ, maka ini bisa membawa seseorang pada kekufuran.
مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ مُعْتَرِفِينَ
Selama mereka masih mengakui; jika mereka sudah mengingkari, maka keluar dari agama Islam.
وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ
Dan mereka masih membenarkan apa yang dikabarkan oleh Nabi dan diucapkan oleh Nabi ﷺ, dhamir pada وَلَهُ disini kembali kepada Nabi ﷺ
بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ
dengan setiap apa yang beliau ucapkan dan beliau kabarkan, mereka membenarkan. Meskipun akalnya belum sampai ke sana, ia tetap membenarkan.
Nabi ﷺ mengabarkan tentang sifat-sifat Allāh ﷻ, kita benarkan; Nabi ﷺ mengabarkan tentang kejadian-kejadian di hari kiamat, kita benarkan; Nabi ﷺ mengabarkan tentang kejadian-kejadian yang telah berlalu, kita benarkan. Tidak boleh sama sekali mendustakan walaupun hanya satu kabar saja dari Nabi ﷺ; jika memang kita sudah mengakui beliau adalah seorang rasul, maka kita harus membenarkan setiap kabar yang beliau sampaikan.
Karena pada hakikatnya, kabar yang beliau bawa berasal dari Allāh ﷻ. Membenarkan beliau adalah membenarkan Allāh ﷻ, dan mendustakan beliau adalah mendustakan Allāh ﷻ.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sungguh dia telah mentaati Allāh.
Beliau hanya sebagai utusan yang menyampaikan kepada kita kabar; jika kita membenarkan beliau, sama dengan membenarkan Allāh ﷻ. Mendustakan beliau sama dengan mendustakan Allāh ﷻ. Maka, mendustakan beliau dalam kabar-kabarnya adalah kekufuran. Tidak mengakui apa yang beliau bawa berupa Al-Qur’an dan hadits ini juga merupakan kekufuran. Kita tidak lagi menamakan orang tersebut sebagai Muslimin, tidak pula sebagai Mukminin.
Inilah maksud ucapan beliau
وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته