Home > Halaqah Silsilah Ilmiyah > Aqidah Ath-Thahawiyah > Halaqah 92 | Ahlus Sunnah Meyakini Bahwa Allāh ﷻ Berbicara dengan Nabi Musa dengan Sebenar-benar Ucapan

Halaqah 92 | Ahlus Sunnah Meyakini Bahwa Allāh ﷻ Berbicara dengan Nabi Musa dengan Sebenar-benar Ucapan

Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله

Halaqah yang ke-92 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.

Beliau mengatakan

وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

Dan bahwasanya Allāh ﷻ berbicara kepada Nabi Mūsā ‘alayhissalām taklīman (dengan sebenar-benarnya pembicaraan), sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat di dalam Al-Qur’ān. Di antaranya adalah firman Allāh ﷻ:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

Dan Allāh berbicara kepada Mūsā dengan pembicaraan yang sebenarnya.

Kata taklīman di sini adalah maf’ūl muṭlaq yang diantara manfaatnya adalah untuk menguatkan, seperti ketika seseorang mengatakan,

ضَرَبْتُهُ ضَرْبًا

aku memukulnya dengan sebenar-benar pukulan, menunjukkan bahwa Allāh benar-benar berbicara kepada Nabi Mūsā ‘alayhissalām. Ini bukanlah majas, seperti yang disangka oleh sebagian orang. Terlebih lagi, Allāh ﷻ berfirman:

وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

“Dan Rabb-nya berbicara kepadanya.”

هُ (hu) ini adalah dhamir yang kembali kepada Nabi Mūsā ‘alayhissalām

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

dan Allāh berbicara kepada Nabi Mūsā ‘alayhissalām.

Ini adalah keutamaan yang Allāh ﷻ berikan kepada Nabi Mūsā ʿalayhis-salām, dan Allāh ﷻ berbicara kepada manusia ini adalah sebuah iḥrām sebuah tashrīf (pemuliaan). Allāh ﷻ berfirman:

تِلْكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ
(QS. Al-Baqarah: 253)

Itu adalah para Rasul yang kami utamakan sebagian di atas sebagian yang lain, di antara mereka ada yang Allāh ﷻ ajak bicara.

Menunjukkan ini adalah sebuah keutamaan. Allāh ﷻ utamakan sebagian Rasul di atas sebagian yang lain. Tidak semua Rasul diajak bicara oleh Allāh ﷻ, mereka adalah manusia yang terbaik, manusia pilihan.

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ
(QS. Al-Ḥajj: 75)

Allāh ﷻ pilih Rasul-Rasul tersebut di antara manusia, namun tidak semua mereka diajak bicara oleh Allāh ﷻ. Ada di antara mereka yang Allāh ﷻ utamakan, Allāh ﷻ muliakan, dengan Allāh ﷻ berbicara langsung kepada mereka. Di antara mereka adalah Nabi Mūsā ʿalayhis-salām.

Sehingga, beliau adalah kalīmullāh, orang yang pernah diajak bicara oleh Allāh ﷻ. Kalīm ini maknanya adalah mukallam, yaitu yang pernah diajak bicara, bukan mukallim, bukan yang berbicara kepada Allāh ﷻ. Kalau yang berbicara kepada Allāh ﷻ banyak; kita masing-masing, ketika berdoa di dalam shalat kita, di luar shalat kita berdoa dan memuji, kita berbicara kepada Allāh ﷻ. Ketika kita mengatakan

أستغفرك يا الله
اللهم اغفر لي
رَبِّ اغفر لي
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا

kita berbicara kepada Allāh ﷻ. Itu adalah sesuatu yang umum; semuanya juga berbicara kepada Allāh ﷻ. Tapi yang tidak umum, yang khusus adalah ketika Allāh ﷻ berbicara kepada seseorang. Inilah makna kalīmullāh, yaitu orang yang pernah diajak bicara oleh Allāh ﷻ.

Nabi ﷺ juga pernah diajak bicara oleh Allāh ﷻ. Ketika di-miʿrajkan, maka Allāh ﷻ berbicara langsung kepada Nabi kita, Muhammad ﷺ. Berbicara langsung bukan berarti melihat Allāh ﷻ, sebagaimana telah berlalu, tapi disana ada hijab.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ، أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِمَا يَشَاءُ بِإِذْنِهِ

Allāh ﷻ berbicara kepada Nabi Muhammad ﷺ tetapi di balik hijab. Nabi ﷺ tidak pernah melihat Allāh ﷻ di dunia.

Di antara Nabi yang pernah diajak bicara oleh Allāh ﷻ adalah Nabi Ādam ʿalayhis-salām, sebagaimana dalam hadits, beliau ʿalayhis-salām adalah Nabiyun mukallamun, beliau adalah seorang Nabi yang pernah diajak bicara oleh Allāh ﷻ.

Kenapa di sini juga disebutkan oleh al-Imām Abu Jaʿfar aṭ-Ṭaḥāwī? Karena orang-orang Jahmiyyah juga mengingkari sifatul kalām, sebagaimana mereka mengingkari sifat mahabbah mereka juga mengingkari sifat al-kalām. Allāh ﷻ tidak berbicara karena menurut mereka, jika kita mensifati Allāh ﷻ dengan kalām, berarti Allāh ﷻ memiliki bibir, lidah, dan seterusnya, berarti menyamakan Allāh ﷻ dengan makhluk. Sehingga mereka mengingkari sifat kalām bagi Allāh ﷻ.

Mereka mengatakan bahwasanya Allāh ﷻ menciptakan kalām, bukan Allāh ﷻ berbicara, tapi Allāh ﷻ menciptakan ucapannya; diciptakan di luar, di pohon atau di tempat lain. Yang jelas, Allāh ﷻ tidak memiliki sifat kalām, sehingga mereka pun mengingkari bahwa Allāh ﷻ berbicara kepada Nabi Mūsā ʿalayhis-salām. Seperti yang dikatakan oleh Khālid ibn ʿAbdillāh al-Qasrī sebelum beliau menyembelih Jaʿd ibn Dirham, bahwasanya di antara aqidah Jaʿd ibn Dirham adalah mengingkari Allāh ﷻ berbicara kepada Nabi Mūsā ʿalayhis-salām.

إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا

Kita mengatakan itu dengan lisan kita, dan kita dasari dengan keimanan, percaya, dan kepercayaan kita disertai dengan ketenangan, tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa Allāh ﷻ menjadikan Ibrāhīm sebagai kekasih-Nya dan berbicara kepada Mūsā sesuai dengan keagungan-Nya.

Kecintaan-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, ucapan dan kalām-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, dan kita membenarkan serta mengimani apa yang Allāh ﷻ sebutkan dalam Al-Qur’ān. Kita membenarkan apa yang disebutkan oleh Allāh ﷻ dalam Al-Qur’ān. Bagaimana kita mendustakan firman Allāh ﷻ:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
(QS. An-Nisā’: 164)

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
(QS. An-Nisā’: 125)

Semuanya kita imani, dan kita berserah diri kepada Allāh ﷻ. Allāh ﷻ yang mengabarkan, maka termasuk sikap taslīm kita adalah menyerahkan diri terhadap apa yang Allāh ﷻ kabarkan dan kita imani sebagaimana datangnya.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
(QS. An-Nisā’: 65)

Tidak beriman mereka sampai menjadikan engkau sebagai hakim di dalam perselisihan mereka kemudian mereka tidak menemukan di dalam hati mereka rasa berat dan mereka menyerahkan diri dengan sebenar-benarnya penyerahan.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
(QS. Al-Aḥzāb: 36)

Jika Allāh ﷻ dan Rasūl-Nya sudah menentukan, tidak ada pilihan lain bagi kita. Inilah keadaan Ahlussunnah wal Jamāʿah.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top