🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Ketiga pelajari juga shiroh Nabi ﷺ sebab didalam shiroh ada peringatan, ada penjelasan tentang beberapa sunnah yang nasikh dan mansukh. Jadi bukan hanya didalam Al-Qur’an saja yang di nasikh mansukh tetapi didalam hadits juga lebih banyak lagi. Ada yang awalnya dibolehkan kemudian dilarang, ada yang awalnya dilarang kemudian dibolehkan. Yang awalnya dilarang kemudian dibolehkan itu apa ? yaitu ziarah kubur. Ketika masih di Makkah dan ketika keyakinan para sahabat masih dekat kepada kesyirikan dan kufur, ketika iman belum begitu mantap Nabi melarang ziarah kubur. Khawatir nanti sampai ziarah kubur minta-minta ke penghuni kubur tetapi setelah hijrah ke Madinah melihat kaum muslimin sudah paham, sudah kuat Tauhidnya tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kesyirikan barulah ziarah kubur dibolehkan. Berkata Nabi ﷺ ,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فإنها تذكركم الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur, sekarang silahkan ziarah. Karena ziarah itu bisa mengingatkan kalian kepada kematian”. (HR. Muslim)
Dengan belajar shiroh (dengan belajar sejarah) kita akan mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh (mana yang menghapus mana yang dihapus). Kalau umpamanya Nabi berkata A kemudian ada lagi hadits yang mengatakan A’ kok bertolak belakang padahal keduanya shahih dan tidak bisa dikompromikan pasti satu yang dihapus satu lagi yang menghapus. Untuk mengetahui mana yang menghapus dan mana yang dihapus diliat dari waktu. Mana yang lebih dahulu mana yang lebih kemudian. Yang lebih dahulu maka itu dihapus dan yang terkemudian berarti yang menghapus. Dalam sunnah nasikh dan mansukh lebih banyak dibanding didalam Al-Qur’an. Dan itu kalau sudah buntu tidak bisa dikompromikan tetapi selama bisa dikompromikan jangan diterapkan dulu nasikh dan mansukhnya. Didalam hadits Nabi ﷺ menyatakan, مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ “Siapa orang yang menyentuh dzakarnya (kemaluannya) hendaklah ia berwudhu”. (HR. Abu Dawud)
Menunjukan menyentuh kemaluan batal wudhunya. Tetapi ketika Nabi ﷺ ditanya tentang bagaimana menyentuh kemaluan apakah batal atau tidak. Kemudian beliau menjawab, لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ “Tidak batal karena si dia (dzakar/kemaluan) bagian diri kamu” (HR. Ahmad)
Hadits pertama shahih dan yang kedua (barusan) shahih juga maka yang benar yang mana ? jawabannya adalah keduanya benar. Tetapi kok bertolak belakang ?. Pasti yang satu dihapus yang kedua menghapus. Dan mana yang lebih dahulu ?. Tunggu dan jangan terburu-buru kearah sana. Oleh karena itulah maka coba kompromikan terlebih dahulu sehingga para ulama menjelaskan karena dua-duanya shahih, dua-duanya dari Rosul ﷺ harus didiskusikan.
Maka adapun orang yang menyentuh kemaluannya karena keperluan-keperluan yang memang diharuskan tanpa ada syahwat maka itu tidak membatalkan. Hal ini sama menyentuhnya dengan bagian yang lainnya. Kenapa kalau disentuh dengan tangan batal, kalau bersentuhannya dengan paha, pasti kan paha bersentuhan dengan kemaluan kenapa tidak batal ? maka apa bedanya tangan dengan paha ? padahal keduanya adalah bagian dari tubuh kita bahkan kemaluan itu bagian dari tubuh kita.
Jadi kalau menyentuhnya tanpa syahwat tidak batal. Adapun yang dimaksud siapa yang menyentuh hendaklah dia berwudhu maka maknanya adalah dengan syahwat. Efeknya bisa keluar madzi yang menyebabkan dia batal dan madzi itu najis bahkan maksimal mungkin bisa saja keluar mani yang mengharuskan dia mandi zunub.
Berdasarkan hal itu inilah kompromi yang dilakukan oleh para ulama tentang dua hadits yang sepintas seperti diatas (bertolak belakang).
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته