Materi 23 ~ Tidak Bertahap Dalam Menuntut Ilmu Bagian (3) – Beberapa Contoh Kisah Pentingnya Tadarruj Dalam Menuntut Ilmu
🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Para ulama itu berbeda-beda pendapat dalam hal belajar secara bertahap tergantung mahdzab yang mereka anut, tergantung tempat mereka belajar dan mengajar dan kini kita akan sampaikan beberapa contoh perbedaan dikalangan mereka.
Berkata Ibnu Al-Madini dari Abdul Wahab bin Hammam dari Ibnu Juraij (Tabiut Tabi’in), “Kata ibnu Juraij –aku datang kepada Ibnu Atho untuk belajar ilmu hadits, disamping atho ada Jubair bin Umair. Berkatalah Ibnu Umair ini, “Apakah kamu sudah membaca Qur’an (Maknanya adalah sudah hafal Qur’an) ? Juraij menjawab – Belum -, maka “kamu pergi dulu dan hafalkan Al-Qur’an baru mempelajari ilmu ini”. Kemudian aku (Juraij) pergi beberapa lama untuk menghafalkan Al-Qur’an. Setelah Al-Qur’an hafal (30 Juz) aku datang lagi kepada Atho’ dan disampingnya ada Abdullah. Berkata Abdullah, “Apakah kamu sudah membaca ilmu Faraidh (Ilmu Waris)”, Juraij menjawab – belum -, “Maka pelajari dulu”. Sebagian orang mengatakan Qorotal Faridhoh Apakah kamu sudah belajar perkara-perkara yang Allah wajibkan dan hal-hal yang fardhu ?, Juraij menjawab – belum -, maka berkata Abdullah, “Kamu belajar dahulu hal itu barulah belajar ilmu hadits ini”. Lalu akupun pergi mempelajari dulu ilmu tentang faridhoh setelah mempelajarinya, menguasainya lalu aku datang lagi barulah berkata, “Sekarang kamu boleh mempelajari ilmu ini”.
Jadi sebelum mempelajari ilmu hadits diharuskan hafal terlebih dahulu Al-Qur’an (30 Juz) setelah itu baru ilmu yang lain. Perkataan diatas dinukil oleh Imam Ad-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala.
Berkata Abu ‘Aina, “Aku mendatangi Abdullah bin Dawud dia berkata, “Untuk apa kamu datang ?”, Abu ‘Aina menjawab – Aku datang untuk belajar hadits -, “Kamu pulang dahulu kemudian hafalkan Al-Qur’an”. Jadi sebelum mempelajari hadits hafalkan dahulu Al-Qur’an. Abu ‘Aina menjawab – Aku sudah hafal Al-Qur’an (30 Juz). Berkatalah Abdullah bin Dawud, “Kalau begitu baca وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ (Yunus : 71)”, Maka – akupun (Abu ‘Aina) membaca seper sepuluh dari Al-Qur’an -. Berkata Abdullah bin Dawud, “Kamu pulang dan pelajari ilmu Faraidh (Ilmu Waris) dulu”. Lalu aku menjawab – Aku sudah mempelajari As-Sulam Al Jid wal Kubad (sodara-sodara kandung, kakek dst) –. Kemudian ditanya (ditest), “Mana yang lebih dekat kepadamu keponakanmu atau pamanmu”. Kekerabatan kita keponakan dengan paman lebih dekat mana. Abu ‘Aina menjawab – yang lebih dekat denganku adalah anak dari saudaraku (keponakan lebih dekat dari ke paman). Kemudian ditanya lagi, “Kenapa sebabnya ?”, maka aku menjawab – karena kalau saudaraku itu masih seibu denganku adapun pamanku kekerabatan karena dari kakek –. Bertemu dikakek karena paman kita saudara dari ayah kita, ayah kita punya bapak paman kita punya bapak maka bertemunya di kakek. Berkatalah Abdullah bin Dawud, “Pergilah kamu dan pelajari bahasa Arab”. Padahal orang yang mau belajar ini adalah orang Arab (maka maknanya adalah disuruh belajar gramatika, belajar nahwu shorof, belajar tata bahasa) tidak semua orang arab menguasai nahwu shorof. Kalau kita umpamanya pergi ke saudi ngobrol sama orang arab maka banyak yang dilabrak aturan nahwu shorofnya apalagi balaghoh. Disana ada para TKI yang sudah puluhan tahun dan berbicara bahasa Arabnya itu lancar sekali tetapi amiah alias bahasa gaul. Jadi hanya paham bahasa amiah (gaul) bahasa khusus gak paham karena bahasa khusus adalah bahasa yang terikat dengan kaidah nahwu shorof dan balaghoh. Keindahan bahasanya tidak paham. Syaikh Utsaimin itu orang Arab dari kecil berbicara bahasa Arab, sehari-hari berbahasa Arab tetapi beliau belajar nahwu dari mulai matan Al-Ajurumiah dengan Syaikh bin Baz rahimahullah (dari mulai dasarnya) kemudian berlanjur sampai ke alfiah dan beliau tidak hanya belajar satu atau dua guru tetapi kebeberapa guru makanya beliau sekarang mengarang kitab syarh Al-Ajurumiah. Matan Al-Ajurumiah itu sehari juga selesai dipelajari tetapi syarah nya lebih dari seribu halaman. Maka belajar dulu bahasa Arab. Dia berkata (Abu ‘Aina) – Aku sudah menguasai dasar ini sebelum menguasai dua hal tadi (sebelum menguasai hafal Qur’an dan Ilmu Faraidh) artinya sudah menguasai/belajar bahasa arab –, kenapa Umar ketika beliau ditusuk ketika sholat (yang menusuk adalah Abu Lu’lu beliau adalah pahlawannya Syiah halakahumullah). Umar setelah ditusuk berkata, “Yaa lallahi walil muslimin”, untuk Allah disebut yaa lallah bukan yaa lillahi walil muslimin. Untuk Allah La untuk Muslimin Li. Kenapa untuk Allah di Fathahkan dan untuk Muslimin di Kashrohkan ?, dia menjawab (Abu ‘Aina) – Di Fathahkan Lam untuk Allah karena dalam rangka berdo’a dan dikashrohkan Lam untuk Muslimin karena meminta bantuan dan meminta pertolongan –. Maknanya Ya Allah aku berdo’a kepadamu agar engkau memberikan pertolongan dan kemenangan bagi kaum muslimin. Nah ini perbedaan antara La dengan Li saja sudah memberi perubahan makna, kalau orang tidak menguasai ini bagaimana menterjemaahkan Yaa Lallahi walil muslimin.
Jadi orang ini setelah dites ilmu Faraidh “bisa”, setelah di tes hafalan Al-Qur’an “bisa”, setelah dites Ilmu Nahwu juga “bisa” lalu dia Abdullah bin Dawud berkata, “Kalo aku mau mengajarkan ilmu hadits kepada orang pasti aku akan mengajarkan ilmu hadits ini kepada kamu”. Jadi karena dia sudah menguasai dasar sebelum belajar ilmu hadits (dasarnya tadi Al-Qur’an dan Faraidh dan Nahwu juga sudah dipahaminya) maka barulah boleh belajar ilmu hadits.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته