Materi 19 ~ Mengambil Ilmu Dari Ashaaghir (3) – Pengecualian
🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Mengambil ilmu dari asshogir yakni orang kecil. Makna orang kecil ada 2 :
Kecil dari segi ilmu yaitu orang-orang bodoh. Maksudnya bodoh tentang agama tetapi dia mengajar masalah agama hanya karena memiliki gelar akademis yang tinggi.
Kecil dari segi usianya. Berkata mualif (penulis) “makna lafadz asshogir atau orang kecil maknanya umum mencakup makna secara hissi atau makna secara maknawi. Makna secara hissi yakni usianya masih muda. Makna secara maknawi yakni ilmunya yang masih dangkal.
Tetapi hukum ini tidak berlaku secara mutlak terhadap orang yang usianya masih muda. Sebab zaman dahulu kala banyak sekelompok sahabat dan juga tabi’in sudah memberi fatwa dan mengajar ketika mereka masih remaja, masih muda belia padahal diantara murid-muridnya ada yang tua, ada yang seusia kakeknya. Zaman dahulu sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in banyak. Zaman setelah mereka jarang. Tetapi apabila ada anak muda ilmunya mendalam, kesholehannya sudah diakui, dia amalnya juga sudah menjadi cerminan dari ilmunya dan didapati orang yang usianya tua yang seperti itu dan aman juga dari fitnah maka silahkan belajar kepada anak muda seperti itu. Juga penjelasan tadi tidak bermakna harus dihindari anak-anak muda yang berilmu untuk belajar kepadanya sekalipun sudah ada yang tua. Tetapi maksud dari seluruh penjelasan tadi adalah meletakan orang sesuai dengan keahliannya dan kemampuannya. Adapun kalo anak muda itu menjadi sumber fatwa semua pertanyaan diajukan kepadanya, maka jangan. Karena akan menimbulkan fitnah yang sangat berbahaya.
Berkata Fudhail bin Iyadh, “Kalo aku melihat seseorang dikerumuni manusia maka aku akan berkata, ‘Ini orang gila’. Siapa orang yang dikerumuni manusia dia tidak akan membagus-baguskan ucapan dan sikapnya dihadapan manusia itu”.
Jadi semua orang level apapun kalo dikerumuni manusia pasti dia akan menampakkan hal yang terbaik bagi dirinya. Ulama Rabbani tidak akan membiarkan dirinya dikerubuti demikian.
Berkata Fudhail bin Iyadh, “Telah sampai berita kepadaku bahwa para ulama pada zaman dahulu apabila mereka belajar ilmu maka mereka langsung mengamalkan ilmu itu. Dan bila mereka sibuk maka orang-orang akan merasa kehilangan mereka. Dan apabila mereka hilang maka manusia mencari. Dan ketika manusia mencari maka mereka akan kabur”.
Para ulama kabur maknanya menghindar dan tidak mau dikerubuti orang. Karena dikerubuti manusia itu bisa terkena fitnah bagi kedua-duanya. Fitnah bagi orang-orang yang dikerubuti bisa muncul ujub, riya dan takabur. Dan Fitnah bagi orang yang mengikutinya ada kultus dan para ulama tidak pernah membiarkan dirinya seperti itu.
Imam Ahmad rahimahullah kalau beliau keluar beliau menutupi wajahnya dengan sorbannya yang dipakai karena tidak ingin orang mengetahuinya. Ketika dia melewati kerumunan orang dia mendengar semua orang membicarakan dirinya memuji-muji selain berilmu juga beramal dan amalnya cerminan dari ilmunya.
Mendengar hal tersebut apakah Imam Ahmad bangga ?
Maka jawabannya adalah beliau sedih dan berkata, “Aduhai celakalah aku jangan-jangan ini adalah istidraj”. Istidraj itu adalah tipu daya dari Allah untuk orang. Allah berikan sesuatu yang bersifat keuntungan dan orang itu merasa keuntungan tersebut sebagai kemuliaan Allah terhadap dirinya padahal sesuatu yang akan menjerumuskannya kepada adzab seperti orang-orang kafir dan musyrik ahli maksiat yang ditengah kemusyrikan kekafiran dan kemaksiatannya dia tetep mendapatkan harta melimpah, kekuasaan tertinggi lalu mereka merasa bahwa itu adalah sebuah anugerah dari Allah. Mana mungkin Allah memberikan anugerah kepada orang yang durhaka. Maka hal itu adalah istidraj, dia tertipu atau pelaku kebid’ahan. Dia banyak melakukan kebid’ahan yang mengundang murkanya Allah tetapi Allah berikan kelebihan-kelebihan secara duniawi baik harta, atau populer banyak pengikut yang sangat banyak yang mengkultuskan dirinya dan dia merasa bahwa itulah kemuliaan dari Allah atas dirinya dan atas amalan yang dilakukannya. Makanya dia itu merasa benar terhadap apa yang dilakukan kebid’ahannya.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته