Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
Source : IslamHouse.com
Pertanyaan: Bolehkah seseorang merubah tujuan nazarnya, apabila ia mendapatkan tujuan yang lebih berhak, setelah menentukan nazar dan membatasi tujuannya?
Jawaban: Sebelum menjawab, saya ingin memberi pengantar terhadap pertanyaan ini, yaitu tidak semestinya seseorang bernazar, sesungguhnya nazar hukumnya makruh atau haram, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إَنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا تُسْتَخْرَجُ مِنَ الْبَخِيْلِ )) (متفق عليه)
“Sesungguhnya ia tidak datang dengan kebaikan, dan ia hanya dikeluarkan dari orang yang bakhil.”
(HR. Al-Bukhari 6608, 6609 dan Muslim 1639 dan 1640)
Kebaikan yang engkau harapkan dari nazar pada dasarnya bukan nazar penyebabnya.
Banyak sekali orang yang apabila sakit, ia bernazar bila Alah subhanahu wata’ala menyembuhkannya ia akan melakukan ini dan itu. Apabila hilang sesuatu darinya, ia bernazar akan melakukan ini dan itu bila menemukannya. Kemudian bila ia sudah sembuh atau mendapatkan yang hilang, bukan berarti nazar mendatangkannya, akan tetapi sesungguhnya hal itu dari sisi Allah subhanahu wata’ala , dan Allah subhanahu wata’ala lebih pemurah dari membutuhkan syarat bila diminta.
Maka engkau harus memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menyembuhkan orang yang sakit ini atau mendatangnya sesuatu yang hilang, adapun nazar maka tidak ada jalan baginya. Banyak sekali orang-orang yang bernazar, apabila sudah diperoleh apa yang mereka nazarkan, mereka malas melaksanakan nazarnya, terkadang mereka tidak melaksanakannya. Ini merupakan bahaya besar. Dengarkanlah firman Allah subhanahu wata‘ala:
قال الله تعالى: {۞وَمِنۡهُم مَّنۡ عَٰهَدَ ٱللَّهَ لَئِنۡ ءَاتَىٰنَا مِن فَضۡلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٧٥ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُم مِّن فَضۡلِهِۦ بَخِلُواْ بِهِۦ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ ٧٦ فَأَعۡقَبَهُمۡ نِفَاقٗا فِي قُلُوبِهِمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ يَلۡقَوۡنَهُۥ بِمَآ أَخۡلَفُواْ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ٧٧} (التوبة: 75- 77)
Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:”Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh”. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. (QS. at-Taubah:75-77)
Atas dasar ini, tidak semestinya seorang mumin melakukan nazar.
Adapun jawaban terhadap pertanyaan ini maka kami katakan: Apabila seseorang bernazar terhadap sesuatu di satu tempat dan ia melihat bahwa yang lain lebih utama darinya, lebih dekat kepada Allah subhanahu wata’ala dan berguna untuk hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala, maka sesungguhnya tidak mengapa ia merubah arah nazarnya ke posisi yang lebih utama. Dalilnya: bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam seraya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bernazar, jika Allah subhanahu wata’ala membuka Makkah untukmu (menaklukkan), saya akan shalat di Baitul Maqdis. Beliau shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Shalatlah di sini.’ Kemudian laki-laki itu mengulangi. Nabi bersabda: ‘Shalatlah di sini.’ Kemudian ia mengulangi. Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau begitu, itu urusanmu.’ (HR. Ahmad 3/363, Abu Daud 3305, ad-Darimi 2339, al-Baihaqi dalam al-Kubra 19922, al-Hakim 4/304, 305 (7839) dan ia menshahihkannya dan adz-Dzahabi tidak memberi komentar. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 2827)
Hal ini menunjukkan bahwa apabila seseorang ingin berpindah dari nazarnya kepada yang lebih baik, maka hal itu boleh.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin- Fatwa-Fatwa Wanita– hal. 149-150.