Home > Bimbingan Islam > Matan Abu Syuja > Kajian 104 | Kafarah Bagi Orang Yang Berbuka Puasa

Kajian 104 | Kafarah Bagi Orang Yang Berbuka Puasa


🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Alhamdulilāh kita masih terus menuntut ilmu, diberikan taufīq oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam mempelajari fiqih.

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allāh kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allāh akan memahamkan dia tentang agama.”

(Hadīts shahīh riwayat Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037)

Kita masih melanjutkan kitāb puasa dan pembahasan sekarang adalah kafaratul ifthar (kafarah bagi orang yang berbuka puasa).

Barangsiapa yang berbuka puasa di bulan Ramadhān dengan dia makan atau minum atau dengan hal lainnya yang sebab sakit atau safar yang dibolehkan oleh syari’at maka wajib bagi dia untuk mengqadha (menganti) hari-hari yang dia tinggalkan sesuai dengan bilangannya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhān.

Dan barangsiapa yang dia berbuka puasa dengan sengaja di bulan Ramadhān selain jimā’, maka wajib bagi dia untuk mengqadha (mengganti) hari-hari tersebut dan dia wajib untuk bertaubat dengan taubat nasuha dan istighfār, karena ini adalah berbuatan dosa besar.

Dan di sini disebutkan oleh penulis kafarah yang terkait dengan jimā’.

Berkata penulis rahimahullāh:

((ومن وقع في نهار رمضان عمدا في الفرج عليه القضاء والكفرة))

“Barangsiapa yang dia berbuat atau berhubungan suami istri (jimā’) pada siang hari di bulan Ramadhān maka wajib bagi dia untuk mengqadha (mengganti) hari-hari yang dia berbuka (melakukan jimā’ secara sengaja) dan selain itu dia wajib membayar kafarah.”

Ini adalah salah satu pembatal yang besar dan kafarahnya juga adalah kafarah yang besar, karena orang yang berbuat (melakukan jimā’) dia melakukan satu hal yang menyelisihi perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan dia berdosa. Dan selain itu dia harus membayar kafarah.

Kafarahnya dilakukan secara tertib (berurutan) tidak boleh dia memilih.

Apa saja kafarahnya?

عتق رقبة مؤمنة،

⑴ Membebaskan seorang budak yang  mukmin.

Kalau dia tidak dapatkan seorang budak yang mukmin (seperti di zaman ini kita tidak dapatkan budak) tidak seperti pada zaman dahulu, maka yang kedua:

فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين،

⑵ Kalau dia tidak dapatkan seorang budak yang mukmin maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Dua bulan ini dihitung dua bulan qamariah (penanggalan hijriyyah).

فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينًا

⑶ Kalau dia tidak mampu maka dia memberi makan 60 orang miskin.

Dan setiap orang miskin jatahnya adalah 1 mud (687 ml atau 600 gram) kira-kira seukuran botol aqua yang 600 ml.

Kalau dia mampu yang pertama maka harus melakukan yang pertama yaitu membebaskan budak, kalau tidak mampu maka harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut dan tidak boleh terpotong, apabila terpotong maka dia harus mengulangi dari awal.

Boleh terputus atau tidak dianggap menyelisihi tatabu’, tidak menyelisihi urutan, apabila terpotong dengan perkara-perkara syar’i.

Misalnya:

Seorang memulai sebelum Ramadhān, dia terpotong dengan berpuasa di bulan Ramadhān maka ini tidak mengapa.

Atau,

Seorang berpuasa kemudian terpotong karena sakit yang syar’i atau karena safar yang syar’i maka ini juga tidak mengapa.

Dia bisa melanjutkan puasanya setelah sakitnya sembuh atau melanjutkan setelah safar syar’i-nya.

Hal ini berdasarkan hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta’āla ‘anhu beliau mengatakan:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ هَلَكْتُ. قَالَ ” مَا شَأْنُكَ “. قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. قَالَ ” تَسْتَطِيعُ تُعْتِقُ رَقَبَةً “. قَالَ لاَ. قَالَ ” فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ “. قَالَ لاَ. قَالَ ” فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا “. قَالَ لاَ. قَالَ ” اجْلِسْ “. فَجَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ ـ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ الضَّخْمُ ـ قَالَ ” خُذْ هَذَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ “. قَالَ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ قَالَ ” أَطْعِمْهُ عِيَالَكَ “.

Datang seorang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian dia mengatakan kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (dia mengadu):

“Saya celaka yā Rasūlullāh.”

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

“Ada apa?”

Laki-laki itu berkata”

“Saya berhubungan dengan istri saya di siang hari di bulan Ramadhān.”

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

“Apakah kamu bisa membebaskan seorang budak ?”

Laki-laki itu berkata”

“Tidak, wahai Rasūlullāh.”

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

“Apakah kamu bisa berpuasa selama dua bulan berturut-turut ?”

Laki-laki itu berkata:

“Tidak, saya tidak mampu wahai Rasūlullāh.”

Kemudian beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan lagi:

“Apakah kamu mampu untuk memberi makan 60 orang miskin?”

Laki-laki itu berkata:

“Tidak, saya tidak mampu wahai Rasūlullāh.”

Kemudian beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan:

“Duduklah!”

Kemudian Rasūlullāh  shallallāhu ‘alayhi wa sallam membawa satu wadah yang berisi tamr (kurma). Kemudian beliau mengatakan:

“Ambil ini dan bersedekahlah.”

(==> Ini menunjukkan bahwa disana urutan tentang kafarah yang wajib dilakukan oleh seorang yang berbuka secara sengaja dengan berjimā’ di siang hari dibulan Ramadhān.)

Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

“Apakah sedekah ini diberikan kepada orang yang lebih faqīr dari kami?”

Maka Nabi pun tertawa sampai terlihat giginya, kemudian beliau berkata:

“Berilah makan keluargamu.”

(Hadīts riwayat Bukhāri Muslim)

Faedah hadīts ini sangat banyak tetapi kita fokus kepada urutan yang diminta (ditanya) oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yaitu:

⑴ Membebaskan budak.
⑵ Berpuasa selama 2 (dua) bulan berturut-turut.
⑶ Memberi 60 orang faqīr miskin.

Maka disini ada beberapa syarat tentang kafarah yang besar ini, di antaranya:

⑴ Yang melakukannya mukallaf (dia terkena beban taqliq bāligh dan beraqal).

⑵ Orang yang melakukannya secara sengaja bukan karena lupa atau bukan juga karena hak lainnya.

⑶ Orang yang melakukannya mengetahui bahwasanya perkara itu adalah memang diharamkan bukan dia tidak tahu.

⑷ Orang yang melakukannya itu dia melakukan dengan ikhtiar (pilihannya) bukan karena dipaksa.

⑸ Orang yang melakukannya adalah orang yang ātsim, memang tatkala melakukannya maka dia melakukan, artinya statusnya berdosa, karena di sana ada orang yang musāfir.

Orang yang musāfir diberikan rukhshah untuk berbuka maka orang seperti ini tatkala dia musāfir dan berpuasa dalam safarnya kemudian dia berhubungan maka tidak termasuk di dalam konteks hadīts tersebut.

⑹ Orang yang melakukannya tidak ada syubhat dalam arti dia tidak menyangka atau bahwa itu masih di dalam area berpuasa, bukan persangkaan dia bahwa itu sudah buka puasa atau sudah masuk waktu maghrib dan ternyata belum masuk waktu maghrib maka ini,  pembahasan lain dia tidak termasuk dalam konteks hadīts tersebut.

Di sana ada beberapa permasalahan, apabila seseorang berhubungan dengan istrinya beberapa kali di dalam satu hari maka kafarahnya yang berlaku adalah satu saja. Akan tetapi bila dia dua hari maka dua kali kafarah.

Kemudian masalah berikutnya, apabila seorang berbuka dengan jimā’ lebih dari satu hari maka tadi sudah disebutkan, setiap hari dia berlaku kafarah dan qadha.

Jadi kalau dia berjimā’ satu hari maka dia harus berpuasa selama 2 (dua)  bulan, bila dia berjimā’ dua hari maka dia berpuasa 4 (empat)  bulan.

Atau satu hari memberi makan 60 orang miskin maka apabila dua hari maka dia harus memberi makan 120 orang miskin.

Kemudian masalah yang ketiga, apabila seseorang berpuasa sunnah dan dia berhubungan maka tidak termasuk dalam konteks kafarrah udzma ini, dia tidak wajib kafarah dan tidak wajib untuk mengqadha.

Dan kafarah ini berlaku bagi laki-laki dan tidak berlaku bagi istri, bagi istri maka dia berlaku untuk mengqadha puasa.

Begitu pula orang yang melakukan perbuatan luthi (kaum Nabi Luth),  نعوذ بالله من ذالك (kita berlindug kepada Allah dari hal yang demikian),  maka al fā’il (pelakunya) harus membayar kafarah dan qadha, adapun yang maf’ul (yang dimasuki) maka dia hanya mengqadha saja seperti seorang wanita.

Mungkin ini yang bisa disampaikan, di dalam pertemuan kali ini.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top