Home > Bimbingan Islam > Matan Abu Syuja > Kajian 068 | Kitab Jenazah

Kajian 068 | Kitab Jenazah

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita masuki halaqah ke-68 dan masuk pada kitāb yang berikutnya yaitu kitāb tentang jenazah.

Perlu diketahui bahwasanya setiap jiwa yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian, dan sesungguhnya kalian akan dipenuhi dengan dibalas pahala-pahala kalian pada hari kiamat nanti, barangsiapa yang diselamatkan dari kepedihan api neraka dan dimasukan kedalam surga, maka sungguh dia telah beruntung, dan tidaklah kehidupan dunia melainkan permainan yang menipu.”

(QS Ali ‘Imrān: 185)

Para sahabat sekalian yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Sesungguhnya Islām mengatur segala sesuatunya termasuk dalam pengurusan jenazah. Maka pada halaqah fiqih kali ini kita akan membahas tentang fiqih seputar jenazah.

Namun di sana ada beberapa pembahasan yang memang tidak dibahas dalam kitāb yang ringkas ini, karena tujuannya memang untuk meringkas.

Diantaranya hukum tentang:

⑴ Orang yang sakit.
⑵ Orang yang ihtidhār (tiba masa kematian pada dirinya).

Kita memasuki tentang mā yalzamu fī al-mayyit (apa yang wajib untuk kita lakukan bagi orang yang meninggal).

قال المؤلف رحمه الله:

Berkata penulis rahimahullāh:

((ويلزم في الميت أربعة أشياء: غسله وتكفينه والصلاة عليه ودفنه))

((Kewajiban terhadap mayit ada 4 macam:

⑴ Memandikannya ( غسله) ⑵ Mengkafaninya ( وتكفينه) ⑶ Meshalātkannya ( والصلاة عليه)
⑷ Menguburkannya (ودفنه)))

Para Imām madzhab, mereka sepakat bahwasanya hukumnya fardhu kifāyah (artinya) apabila sebagian orang telah melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi sebagian yang lain.

Bahkan diriwayatkan bahwasanya dia adalah ijma’. Sebagaimana perkataan Imām Nawawi rahimahullāh:

الصلاة علي الميت فرض كفاية بلا خلاف عندنا وهو إجماع  انتهى

“Bahwasanya shalāt jenazah adalah fadhu kifāyah dan ini tidak khilāf diantara kita dan kata beliau ini adalah ‘ijmā’.”

(Al Majmū’ 5/167)

Ada beberapa hadīts yang terkait dengan kewajiban di atas, diantaranya:

⑴ Terkait dengan memandikan jenazah dan mengkafaninya.

Berdasarkan sebuah hadīts tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ditanya tentang seseorang jama’ah yang sedang ihram kemudian meninggal dunia.

Maka kata beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam):

اغسِلوه بماءٍ وسِدْرٍ، وكَفِّنوه في ثوبين

“Mandikanlah dia dengan air dan sidr, dan kafankan dengan dua helai kain.”

(Hadīts Riwayat Bukhāri dan Muslim)

Begitu juga hadīts yang lain yang terkait dengan kewajiban untuk menyalatkannya, yaitu hadīts dari Salamah ibn Al akwa’ radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā.

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ ” هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ “. قَالُوا لاَ. فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ ” هَلْ عَلَيْهِ مَنْ دَيْنٍ “. قَالُوا نَعَمْ. قَالَ ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ “. قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَىَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ

Dari Salamah ibn Al-Akwa’, Bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam didatangkan jenazah kepadanya untuk dishalāti. Lantas beliau bertanya:

“Apakah dia punya hutang?”

Mereka pun  menjawab: ” Tidak.”

Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun menyalatkan jenazah tersebut.

Kemudian didatangkan jenazah yang lain, Beliau bertanya:

“Apakah dia punya hutang?”

Mereka menjawab: “Ya.”

Maka Beliau berkata: “Shalātkanlah kawan kalian.”

Kemudian Abū Qatadah berkata:

“Saya yang menanggung hutangnya wahai Rasūlullāh.”

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun menyalatkannya.

(Hadīts Riwayat Bukhāri nomor 2295)

Perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk menyalatkan jenazah menunjukkan hukumnya wajib, dan kewajiban shalāt jenazah adalah wajib kifāyah.

Dalīl kewajiban menguburkan jenazah:

عن أبي سعيدٍ الخُدْريِّ رضِيَ اللهُ عنه، أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قال: ((اذهبوا، فادْفِنوا صاحِبَكم)) مسلم

Dari Abū Said Al khudri Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Maka pergilah kalian, dan kuburkanlah shahābat kalian”

(Hadīts Riwayat Muslim)

Dan hukum-hukum secara terperinci tentang memandikan mayat, mengkafaninya, menyalatkan dan menguburkan maka itu ada pembahasan khusus.

قال المؤلف رحمه الله:

Berkata penulis rahimahullāh:

((واثنان لا يغسلان ولا يصلي عليهما: الشهيد في معركة المشركين والسقط الذي لم يستهل صارخا))

((Ada 2 (dua) orang mayat yang tidak dimandikan dan tidak dishalāti, yaitu:

⑴ Orang yang mati syahīd dalam peperangan dengan orang musyrik.
⑵ Janin yang keguguran yang belum bersuara.))

Berkata Ibnu Qayyim rahimahullāh:

شهيد المعركة لا يُصلَّى عليه ، لأن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لم يُصَلِّ على شُهدَاء أُحُد ، ولم يُعرف عنه أنه صلَّى على أحد ممن استشهد معه فى مغازيه ، وكذلك خلفاؤُه الراشِدُون ، ونوابُهم مِن بعدهم ”
“زاد المعاد” (3 /217)

Orang yang mati syahīd di dalam ma’rakah (peperangan) maka dia tidak dishalāti.

(Ibnu Qayyim berkata bahwa) Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menyalatkan seorangpun (syuhadā Uhud) dan tidak pernah diketahui bahwasanya beliau pernah menyalati seorang pun dari kalangan orang-orang yang mati syahīd di dalam peperangan bersama beliau, begitu juga Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang menggantinya setelahnya.

(Lihat di dalam Zādul Ma’ād 3/217)

Para sahabat BiAS.

Diantara hikmah mengapa para syuhadā tidak dimandikan adalah mereka tatkala menghadap Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan darah-darah yang dihasilkan dari jihad fīsabilillāh.

⇒ Darah jihad fīsabilillāh adalah darah kemuliaan.

Adapun yang dikatakan janin adalah apabila janin tersebut belum mencapai 4 (empat) bulan. Di sana ada khilāf para ulamā tentang janin yang keluar dan tidak bersuara.

==> Sebagian memberikan kadar 4 (empat) bulan, jika kurang dari 4 (empat) bulan maka tidak wajib dishalāti. Jika lebih dari 4 (empat) bulan maka sudah menjadi manusia dan manusia harus dishalāti.

==> Sebagian yang lain berpendapat (dengan tidak memberikan batasan bulan tertentu), apabila janin (meninggal didalam perut ibu) keluar dan tidak bersuara (dalam keadaan meninggal) maka dia tidak (wajib untuk ) dishalāti.

Demikian yang bisa disampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين

________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top